Aliran Informasi dalam Organisasi
A. SIFAT ALIRAN INFORMASI
Guetzkow (1965) menyatakan bahwah aliran informasi dalam suatu organisasi dapat terjadi dalam tiga cara: serentak, berurutan, atau kombinasi dari kedua cara ini.
1. Penyebaran Pesan Secara Serentak
Sebagian besar dari komunikasi organisasi berlangsung dari orang ke orang, atau diadik, hanya melibatkan sumber pesan dan penerima –yang mengiterprestasikan pesan- sebagai tujuan akhir. Banyak organisasi yang mengeluarkan terbitan khusus, berbentuk majalah atau selebaran yang diposkan kepada semua anggota organisasi. Bila semua anggota departemen, fakultas, atau bagian-bagian lain menerima suatu imformasi dalam waktu yang bersamaan, proses ini disebut penyebaran pesan secara serentak.
Pemilihan teknik penyebaran yang berdasarkan pada waktu (tiba secara serentak) memerlukan pemikiran metode penyebaran yang sedikit berbeda dari yang biasa kita kerjakan. Di pihak lain, suatu pertemuan mungkin merupakan cara untuk menyampaikan informasi kepada setiap anggota organisasi pada saat yang sama; tetapi seperti yang dapat anda duga, tidak semua orang dapat hadir karena pertemuan cukup jauh. Memo merupakan media tertulis sedangkan pertemuan adalah bentuk lisan, atau suatu media tatap muka. Salah satu dari kedua metode tersebut atau kedua-duanya mungkin melancarkan penyebaran informasi secara serentak kepada sekelompok anggota organisasi; salah saatu kedua-duanya mungkin pula tidak efektif.
Dengan berkembangnya media telekomunikasi, tugas menyebarkan informasi kepada semua anggota secara serentak menjadi lebih sederhana bagi sebagian organisasi. Dengan berkembangnya sistem kabel dan telepon yang lebih canggih, dirangkaikan dengan video, semua organisasi dapat berhubungan secara visual dan vokal antara satu dengan yang lainnya sambil tetap berada di tempat kerja masing- masing. Penyebaran pesan secara serentak mungkin suatu cara yang lebih umum, lebih efektif dan efisien daripada cara lainnya untuk melancarkan aliran informasi dalam suatu organisasi.

2. Penyebaran Pesan Secara Berurutan
Haney (1962) mengemukakan bahwah ‘’penyampaian pesan berurutan merupakan bentuk komunikasi yang utama, yang pasti terjadi dalam organisasi’’ . penyebaran informasi berurutan meliputi perluasan bentuk penyebaran diadik, jadi pesan disampaikan dari si A kepada si B kepada si C kepada si D kepada si E dalam serangkaian transaksi dua orang; dalam hal ini setiap individu kecuali orang ke 1 (sumber pesan), mula-mula menginterpretasikan pesan yang diterimanya, dan kemudian meneruskan hasil interpretasinya kepada orang berikutnya dalam rangkaian tersebut.
Penyebaran pesan berurutan memperlihatkan pola ”siapa berbicara kepada siapa”. penyebaran tersebut mempunyai suatu pola sebagai salah satu ciri terpentingnya, Bila pesan disebarkan secara berurutan, penyebaran informasi berlangsung dalam waktu yang tidak beraturan, jadi infomasi tersebut tiba ditempat yang berbeda dan pada waktu yang berbeda pula. Individu cenderung menyadari adanya informasi pada waktu yang berlainan. karena adanya perbedaan dalam menyadari informasi tersebut, mungkin timbul masalah dalam koordinasi. Adanya keterlambatan dalam penyebaran informasi akan menyebabkan informasi itu sulit digunakan untuk membuat keputusan karena ada orang yang belum memperoleh informasi. Bila jumlah orang yang harus diberi informasi cukup banyak, proses berurutan memerlukan waktu yang lebih lama lagi untuk menyampaikan informasi kepada mereka.

B. POLA ALIRAN INFORMASI
Katz dan Kahn (1966) menunjukan bahwa pola atau keadaan urusan yang teratur mensyaratkan bahwa komunikasi di antara anggota sistem tersebut di batasi. Sifat asal organisasi mengisyaratkan pembatasan mengenai siapa yang berbicara kepad siapa. Burrges (1969) mengamati bahwa karakter komunikasi yang ganjil dalam organisasi adalah bahwa ‘’pesan mengalir menjadi amat teratur sehinggah kita dapat berbicara tenang jaringan atau struktur komunikasi’’, ia juga menyatakan bahwa organisasi formal mengendalikan struktur komunikasi dengan menggunakan sarana tertentu seperti penunjukan otoritas dan hubungan-hubungan kerja, penetapan kantor, dan fungsi-fungsi komunikasi khusus.
Pola roda adalah pola yang mengarahkan seluruh informasi kepada individu yang menduduki posisi sentral. Orang yang dalam posisi sentral menerima kontak dan infomasi yang disediakan oleh anggota organisai lainnya dan memecahkan masalah dengan saran dan persetujuan anggota lainnya. Pola lingkaran memungkinkan semua anggota berkomunikasi satu dengan yang lainnya hanya melalui sejenis sestem pengulangan pesan. Tidak seorang anggotapun yang dapat berhubungan langsung dengan semua anggota lainnya, demikian pula tidak ada anggota yang memiliki akses langsung terhadap seluruh informasi yang diperlukan untuk memecahkan persoalan.
Pola lingkaran –meliputi kombinasi orang-orang penyampai pesan cenderung lebih baik daripada pola roda –yang mencakup aliran komunikasi yang amat terpusat – dalam keseluruhan aksesibilas anggota antara yang satu dengan yang lainnya, moral atau kepuasan terhadap prosesnya, jumlah pesan yang dikirimkan, dan kemampuan beradaptasi dengan perubahan –perubahan dalam tugas; di pihak lain, pola roda memungkinkan pengawasan yang lebih baik atas aliran pesan, kemunculan seorang pemimpin bisa lebih cepat dan organisasi lebih stabil, menunjukan kecermatan tinggi dalam pemecahan masalah, cepat dalammemecakan masalah, tetapi terlihat cenderung mengalami kelebihan beban pesan dan pekerjaan.
Burgess (1969) mengamati bahwa sebagai upaya untuk memecahkan masalah dalam eksperimen-eksperimen, para anggota kelompok harus ‘’belajar bagaimana menangani peralatan eksperimen dengan benar dan efesien; dan bagai mana mengefisienkan pengiriman pesan kepada satu atau beberapa posisi yang dihubungkan dengan pesan-pesan tersebut”.
Ada 6 (enam) peranan jaringan komunikasi yaitu :
1. Opinion Leader, adalah pimpinan informal dalam organisasi.
2. Gate keepers, adalah individu yang mengontrol arus informasi di antara anggota organisasi.
3. Cosmopolites, adalah individu yang menghubungkan organisasi dengan lingkungannya.
4. Bridge, adalah anggota kelompok atau klik dalam satu organisasi yang menghubungkan kelompok itu dengan anggota kelompok lainnya.
5. Liasion, adalah sama peranannya dengan bridge tetapi individu itu sendiri bukanlah anggota dari satu kelompok tetapi dia merupakan penghubung di antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.
6. Isolate, adalah organisasi yang mempunyai kontak minimal dengan orang lain dalam organisasi.

C. ARAH ALIRAN INFORMASI
1. Komunikasi Kebawah
Komunikasi kebawah dalam sebuah organisasi berarti bahwa informasi mengalir dari jabatan berotoritas lebih tinggi kepada mereka yang berotoritas lebih rendah. Biasanya kita beranggapan bahwa informasi bergerak dari manajemen kepada para pegawai; namun, dalam organisasi kebanyakan hubungan ada pada kelompok manajemen (Davis, 1967).
Ada lima (5) jenis informasi yang biasa dikomunikasikan dari atasan kepada bawahan (Katz & Khan, 1966) :
1. Informasi mengenai bagaimana melakukan pekerjaan,
2. Informasi mengenai dasar pemikiran untuk melakukan pekerjaan,
3. Informasi mengenai kebijakan dan praktik-praktik organisasi,
4. Informasi mengenai kinerja pegawai
5. Informasi untuk mengembangkan rasa memiliki tugas.
Pemilihan Metode dan Media
Level (1972) mensurvei para penyedia dan meminta mereka untuk menilai keefektifan kombinasi-kombinasi yang berbeda dari metode-metode untuk berbagai jenis situasi komunikasi yang berlainan. Ada empat metode sebagai berikut (1) tulisan saja, (2) lisan saja,(3) tulisan di ikuti lisan, dan (4) lisan di tulisan.
Ada enam kriteria yang sering digunakan untuk memilih metode penyampaian informasi kepada pegawai (level dan galle, 1988).
1. Ketersediaan. Metode-metode yang tersedia dalam organisasi cenderung dipergunakan. Setelah menginventarisasikan metode yang tersedia, organisasi dapat memutuskan metode apa yang dapat di tambahkan untuk suatu program keseluruan yang lebih efektif.
2. Biaya. Metode yang dinilai paling murah cenderung dipilih untuk penyebaran informasi rutin dan yang tidak mendesak. Bila diperlukan atau diinginkan penyebaran informasi yang tidak rutin dan mendesak, metode yang lebih mahal tetapi lebih cepat dapat digunakan.
3. Pengaruh. Metode yang tampaknya memberi pengaruh atau kesan paling besar sering dipilih daripada metode yang baku.
4. Relevansi. Metode yang tampak paling relevan dengan tujuan yang ingin dicapai akan lebih sering dipilih. Bila tujuannya singkat dan sekedar menyampaikan informasi, dapat dilakukan dengan pembicaraan diikuti oleh memo. Bila tujuannya menyampaikan masalah yang rinciannya rumit, metode laporan teknis tertulis adalah metode yang mungkin akan dipilih.
5. Respons. Metode yang dipilih akan dipengaruhi oleh ketentuan apakah dikehendaki atau diperlukan respons khusus terhadap infomasi tersebut.
6. Keahlian. Metode yang tampaknya sesuai dengan kemampuan pengirim untuk menggunakannya dan dengan kemampuan penerima untuk memahaminya cenderung digunakan daripada metode yang tampaknya di luar kemampuan komunikator atau di luar kemampuan pemahaman pegawai yang menerimanya.

2. Komunikasi ke Atas
Komunikasi ke atas dalam sebuah organisasi berarti bahwa informasi mengalir dari tingkat yang lebih rendah (bawahan) ke tingkat yang lebih tinggi (penyelia).
Komunikasi ke atas penting karena beberapa alasan.
1. Aliran informasi ke atas memberi onformasi berharga untuk pembuatan kepusan oleh mereka yang mengarahkan organisasi dan mengawasi kegiatan orng-orang lainnya (Sharma,1979).
2. Komunikasi ke atas memberitahukan kepada penyelia kapan bawahan mereka siap menerima informasi dari mereka dan seberapa baik bawahan menerima apa yang dikatakan kepada mereka (Planty & Machaver, 1952).
3. Komunikasi ke atas memungkinkan bahkan mendorong omelan dan keluh kesah muncul kepermukaan sehingga penyelia tahu apa yang mengganggu mereka yang paling dekat dengan operasi-operasi sebenarnya (Conboy, 1976).
4. Komunikasi ke atas menumbuhkan aspresiasi dan loyalitas kepada organisasi dengan memberi kesempatan kepada pegawai untuk mengajukan pertanyaan dan menyumbang gagasan serta saran-saran mengenai operasi organisasi (Planty & Machaver, 1952).
5. Komunikasi ke atas mengizinkan penyelia untuk menentukan apakah bawahan memahami apa yang diharapkan dari aliran informasi ke bawah (Planty & Machaver, 1952).
6. Komunikasi keatas membantu pegawai mengatasi masalah pekerjaan mereka dan memperkuat keterlibatan mereka dengan pekerjaan mereka dan dengan organisasi tersebut (Harriman, 1974).

Sharma (1979) mengemukakan empat alasan mengapa komunikasi keatas terlihat amat sulit:
1. Kecenderungan bagi pegawai untuk menyembunyikan pikiran mereka.
2. Perasaan bahwa penyelia dan manajer tidak tertarik kepada masalah pegawai.
3. Kurangnya penghargaan bagi komunikasi keatas yang dilakukan pegawai.
4. Perasaan bahwa penyelia dan manajer tidak dapat dihubungi dan tidak tanggap pada apa yang disampaikan pegawai.

Planty dan Machaver (1952) mengemukakan tujuh prinsip sebagai pedoman komunikasi ke atas.
1. Harus direncanakan.
2. Berlangsung secara berkesinambungan.
3. Menggunakan saluran rutin.
4. Menitikberatkan kepekaan dan penerimaan dalam pemasukan gagasan dari tingkat yang lebih rendah.
5. Mencakup mendengarkan secara objektif.
6. Mencakup tindakan untuk menanggapi masalah.
7. Menggunakan berbagai media dan metode untuk meningkatkan aliran informasi.

3. Komunikasi Horizontal
Komunikasi horizontal, yaitu Informasi yang bergerak di antara orang-orang dan jabatan-jabatan yang sama tingkat otoritasnya. Komunikasi horizontal terdiri dari penyampaian informasi di antara rekan-rekan sejawat dalam unit kerja yang sama. Unit kerja meliputi individu-individu yang ditempatkan pada tingkat otoritas yang sama dalam organisasi dan mempunyai atasan yang sama.
Tujuan komunikasi horizontal :
1. Untuk mengkoordinasikan penugasan kerja.
2. Berbagi informasi mengenai rencana dan kegiatan.
3. Untuk memecahkan masalah.
4. Untuk memperoleh pemahaman bersama.
5. Untuk mendamaikan, berunding, dan menengahi perbedaan.
6. Untuk menumbuhkan dukungan antarpersona.
Bentuk komunikasi horizontal yang paling umum mencakup semua jenis kontak antarpersona. Bahkan bentuk komunikasi horizontal tertulis cenderung menjadi lebih lazim. Komunikasi horizontal paling sering terjadi dalam rapat komisi, interaksi pribadi, selama waktu istirahat, obrolan di telepon, memo dan catatan, kegiatan sosial dan lingkaran kualitas. Lingkaran kualitas adalah sebuah kelompok pekerja sukarela yang berbagi wilayah tanggung jawab. Yang penting kelompok ini adalah kelompok kerja biasa yang membuat atau memperbaiki suatu produk. Lingkaran kualitas umumnya diberi tanggung jawab penuh untuk mengenali dan memecahkan masalah (Yager, 1980).
Saluran ini memungkinkan individu-individu mengoordinasikan tugas-tugas, membagi informasi, memecakan masalah, dan menyelesaikan konflik. Komunikasi horizontal dilakukan melalui kontak pribadi,telepon, email, memo, voice mail, dan rapat.
Untuk meningkatkan komunikasi horizontal, perusahaan (1) melatih karyawan dalam kerjasama tim dan tekhnik komunikasi, (2) membangun sistem penghargaan berbasis pencapaian tim alih-alih pecapai individu, dan (3) mendorong partisipasi penuh dalam fungsi-fungsi tim.

4. Komunikasi Lintas-Saluran
Komunikasi lintas saluran, adalah informasi yang bergerak di antara orang-orang dan jabatan-jabatan yang tidak menjadi atasan ataupun bawahan satu dengan yang lainnya. Mereka menempat bagian fungsional yang berbeda.
Spesialis staf (staff specialists) biasanya paling efektif dalam komunikasi lintas-saluran karena biasanya tanggung jawab mereka muncul di beberapa rantai otoritas perintah dan jaringan yang berhubungan dengan jabatan.
Fayol (1916-1940) menunjukkan bahwa komunikasi lintas-saluran merupakan hal yang pantas, bahwa perlu pada suatu saat, terutama bagi pegawai tingkat lebih rendah dalam suatu saluran.
Pentingnya komunikasi lintas-saluran dalam organisasi mendorong Keith Davis (1967) untuk menyatakan bahwa penerapan tiga prinsip berikut akan memperkokoh peranan komunikasi spesialis staf:
1. Spesialis staf harus dilatih dalam keahlian berkomunikasi.
2. Spesialis staf perlu menyadari pentingnya peranan komunikasi mereka.
3. Manajemen harus menyadari peranan spesialis staf dan lebih banyak lagi memanfaatkan peranan tersebut dalam komunikasi organisasi.

5. Komunikasi Informal, Pribadi, Atau Selentingan
Dalam istilah komunikasi, selentingan digambarkan sebagai ‘’metode penyampaian laporan rahasia dari orang ke orang yang tidak dapat diperoleh melalui saluran biasa’’ (Stein, 1967). Komunikasi informal cenderung mengandung laporan ‘’rahasia’’ tentang orang-orang dan peristiwa yang tidak mengalir melalui saluran perusahaan yang formal. Informasi yang diperoleh melalui selentingan lebih memperhatikan ‘’apa yang dikatakan atau didengar oleh seseorang’’ daripada apa yang dikeluarkan oleh pemegang kekuasaan. Paling tidak sumbernya terlihat ‘’rahasia’’ meskipun informasi itu sendiri bukan rahasia.
Sifat-Sifat Selentingan
Meskipun penelitian tentang sifat-sifat selentingan tidak ekstensif, sifat-sifat selentingan cukup lengkap seperti digambarkan berikut ini (W. L. Davis dan O’Connor, 1977):
1. Selentingan berjalan terutama melalau interaksi mulut ke mulut.
2. Selentingan umumnya bebas dari kendala-kendala organisasi dan posisi.
3. Selentingan meyebarkan informasi dengan cepat.
4. Jaringan kerja selentingan digambarkan sebagai suatu ‘’rantai kelompok’’ karena setiap orang menyampaikan selentingan cendrung mengabarkannya kepada sekelompok orang daripada hanya kepada satu orang saja.
5. Para peserta dalam jaringan kerja selentingan cendrung menjalankan satu dari tiga peranan berukut: penghubung, penyendiri, atau pengakhir (dead-enders) -mereka yang biasanya tidak melanjutkan informasi.
6. Selentingan cenderung lebih merupakan produk suatu situasi daripada produk orang-orang dalam organisasi tersebut.
7. Semakin cepat seseorang mengetahui suatu peristiwa yang baru saja terjadi, semakin besar kemungkinan ia menceritakannya kepada orang-orang lainnya.
8. Bila suatu informasi yang disampaikan pada seseorang menyangkut sesuatu yang menarik perhatiannya, semakin besar kemungkinan ia menyampaikan informasi tersebut kepad orang-orang lainnya.
9. Aliran utama informasi dalam selentingan cenderung terjadi dalam kelompok-kelompok fungsional daripada antara kelompok-kelompok tersebut.
10. Umumnya, 75% - 90% dari rincian pesan yang di sampaikan oleh selentingan adalah cermat; namun, seperti dikemukakan Keith Davis (1967) ‘’orang-orang cenderung beranggapan bahwa selentingan kurang cermat daripada yang sebenarnya, karena kesalahan-kesalahannya lebih dramatik dan akibatnya lebih bekesan dalam ingatan daripada kecermatan rutin seha-harinya. Selanjutnya, bagian-bagian yang kurang cermat seringkali lebih penting’’.
11. Informasi selentingan biasanya tidak lengkap, menghasilkan kesalahan interpretasi bahkan bila rinciannya cermat.
12. Selentingan cenderung mempengaruhi organisasi, apakah untuk kebaikan atau keburukan; jadi pemahaman mengenai selentingan dan bagaimana selentingan ini dapat memberi andil positif kepada organisasi merupakan hal yang penting.

Jumlah dan akibat pesan yang mengganggu, yang berlangsung melalui selentingan, dapat dikendalikan dengan menjaga saluran komunikasi formal tetap terbuka, yang memberi kesempatan berlangsungnya komunikasi ke atas, ke bawah, horizontal, dan lintas- saluran yang terus terang, cermat, dan sensitive. Hubungan penyelia-bawahan yang efektif nampaknya penting untuk mengendalikan informasi selentingan. Penyelia dan menajer harus memberitahu pegawai bahwa mereka mengerti dan menerima informasi melalui seletingan tersebut, terutama bila hal itu mengungkapkan sesuatu yang menyangkut perasaan pegawai, bahkan bila informasinya tidak lengkap dan tidak selalu cemat.
Di beberapa organisasi atau perusahaan yang masih memegang budaya timur, tentu saja para bawahan masih segan atau sungkan untuk menyampaikan keberatan-keberatan mereka terhadap kebijaksanaan organisasi kepada atasan mereka. Pelampiasannya melalui komunikasi antar anggota-anggota organisasi dalam bentuk informal yaitu selentingan ini.
Cara penanganan terhadap informasi yang mengalir tentu saja berbeda-beda bagi tiap-tiap organisasi. Tetapi untuk hal ini mungkin bisa saja dijadikan sebagai contoh penanganan suatu masalan dalam organisasi. Jadi penting bagl para manajer atau penyelia memahami dan membantu agar selentingan bermanfaat bagi organisasi. Informasi yang sifatnya negatif belum tentu menghasilkan hal yang negatif juga. Itu tergantung bagaimana kita menangani dan menyikapi hal negatif tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa selentingan merupakan saluran alternative kedua yang paling sering dipergunakan dalam komunikasi organisasional. (Saluran yang paling sering digunakan adalah saluran langsung pegawai-atasan). Sebagai sumber informasi, selentingan berada di urutan kedua dari bawahan dari segi dapat dipercaya dan dikehendaki. Jadi, selentingan dianggap penting oleh pegawai, tetapi tidak selalu sebagai saluran komunikasi yang lebih disukai dalam organisasi.
Etika Komunikasi
A. ETIKA DALAM KOMUNIKASI MASSA
1. Pengertian Etika
Kata “etika” berasal dari Bahasa Yunani Kuno yaitu ethos, yang dalam bentuk jamak berubah menjadi ta etha,yang berarti adat istiadat. Arti inilah yang menjadi latar belakang bagi terbentuknya studi mengenai etika yang diawali oleh Aristoteles (384-322 SM). Sehingga jika kita mengartikan etika hanya dari sisi etimologis, maka defennisi yang mencuat atas kata “etika” adalah ilmu tentang adat kebiasaan.
Kata yang berdekatan dengan kata “etika” adalah kata “moral” yang juga berasal dari bahasa yunani kuno yaitu mos yang dalam bentuk jamak berubah bunyi menjadi mores. Arti dari kata ini adalah kebiasaan, adapt. Wajar jika kedua kata ini berdampingan dalam penggunaannya, karena memang secara etimologis keduanya memiliki makna yang serupa.
Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan tentang azaz-azaz akhlak (moral) atau etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral atau akhlak. Dari pengertian kebahsaan ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah laku manusia.
Adapun arti etika dari segi istilah, telah dikemukakan para ahli dengan ungkapan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya. Menurut ahmad amin mengartikan etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.
Berikutnya, dalam encyclopedia Britanica, etika dinyatakan sebagai filsafat moral, yaitu studi yang sitematik mengenai sifat dasar dari konsep-konsep nilai baik, buruk, harus, benar, salah, dan sebagainya.
Dari definisi etika tersebut diatas, dapat segera diketahui bahwa etika berhubungan dengan empat hal sebagai berikut. Pertama, dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Kedua dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Sebagai hasil pemikiran, maka etika tidak bersifat mutlak, absolute dan tidak pula universal. Ia terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan, kelebihan dan sebagainya. Selain itu, etika juga memanfaatkan berbagai ilmu yang memebahas perilaku manusia seperti ilmu antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan sebagainya. Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan sebagainya. Dengan demikian etika lebih berperan sebagai konseptor terhadap sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Etika lebih mengacu kepada pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Keempat, dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relative yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman.
Etika adalah cabang dari aksiologi, yaitu ilmu tentang nilai, yang menitikberatkan pada pencarian salah dan benar atau dalam pengertian lain tentang moral dan immoral. Etika dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :
1. Etika sebagai ilmu, yang merupakan kumpulan tentang kebajikan, tentang penilaina dari perbuatan seseorang.
2. Etika dalam arti perbuatan, yaitu perbuatan kebajikan, Misalnya seseorang dikatakan etis apabila orang itu telah berbuat kebajikan.
3. Etika sebagai filsafat, yang mempelajari pandangan-pandangan, persoalan-persoalan yang berhubungan dengan masalah kesusilaan.

Dengan ciri-cirinya yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatan baik atau buruk. Berbagai pemikiran yang dikemukakan para filosof barat mengenai perbuatan baik atau buruk dapat dikelompokkan kepada pemikiran etika, karena berasal dari hasil berfikir. Dengan demikian etika sifatnya humanistis dan antroposentris yakni bersifat pada pemikiran manusia dan diarahkan pada manusia. Dengan kata lain etika adalah aturan atau pola tingkah laku yang dihasulkan oleh akal manusia.
Tugas etika, tidak lain berusaha untuk mengetahui hal yang baik dan yang dikatakan buruk. Sedangkan tujuan etika, adalah agar setiap manusia mengetahui dan menjalankan perilaku, sebab perilaku yang baik itu bukan saja penting bagi dirinya saja, tapi juga penting bagi orang lain, bagi masyarakat, bagi bangsa dan Negara, dan yang terpenting bagi Allah swt.
Setelah menjelajahi etimologi kata “etika”, mari kita berusaha menyingkap arti etika secara lebih konprehensif.
 Pertama, secara konprehensif kata “etika” dapat dimaknai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan moral bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
 Kedua, “etika” juga dapat diartikan sebagai kumpulan asas atau nilai moral, yang sering disebut sebagai kode etik, seperti kode etik periklanan yang Indonesia yang dikeluarkan oleh Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia, kode etik jurnalistik yang berasal dari berbagai organisasi jurnalis, kode etik kehumasan, kode etik penyiaran dan sebagainya.
 Ketiga, kata “etika” dapat berarti pula sebagai ilmu yang mempelajari mengenai hal yang baik dan buruk dalam masyarakat.

2. Sistematika Etika
Secara umum, menurut A. Sonny Kreaf (1993: 41), etika dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, Etika Umum yang membahas kondisi dasar bagaimana manusia bertindak etis, dalam mengambil keputusan etis, dan teori etika serta mengacu pada prinsip moral dasar yang menjadi pegangan dalam bertindak dan tolok ukur atau pedoman untuk menilai baik atau buruknya suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang.
Kedua, Etika Khusus yaitu penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang khusus, yaitu bagaimana mengambil keputusan dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari pada proses dan fungsional dari suatu organisasi. Etika khusus dibagi menjadi dua bagian yaitu, Etika individual menyangkut kewajiban dan perilaku manusia terhadap dirinya sendiri. Etika sosial berbicara mengenai kewajiban, sikap, dan perilaku sebagai anggota masyarakat yang berkaitan dengan nilai-nilai sopan santun, tata karma dan saling menghormati.
Kata yang sering dianggap serupa maknanya dengan kata “etika” adalah kata “etiket”. Mungkin karena intonasinya yang serupa kemudian keduanya dengan mudahnya dipercampuradukkan, padahal keduanya memilliki makna yang berbeda. Etika disini dipahami sebagai moral, sedangkan etiket hanya dikaitkan dengan sopan santun.
Perbedaan diantara keduanya dapat oleh K.Bertens digambarkan sebagai berikut :
No Etiket Etika
1 Menyangkut cara sesuatu
yang dilakukan oleh
manusia. Etika tidak terbatas pada cara dilakukannya suatu perbuatan, namun etika juga mencakup pemberian norma terhadap perbuatan itu sendiri
2 Etiket hanya berlaku dipergaulan, jika tidak ada orang yang menjadi saksi maka etikat tidak berlaku. Etika berlaku tidak tergantung pada hadir tidaknya orang.
3 Etiket bersifat relatif. Etika bersifat jauh lebih absolute dibanding etiket
4 Etiket hanya memandang manusia dari sisi lahiriah semata. Etika menyangkut sisi lahir maupun batin manusia.
5 Etiket menetapkan cara untuk melakukan perbuatan benar sesuai dengan yang diharapkan. Etika adalah niat, apakah perbuatan itu boleh dilakukan atau tidak sesuai dengan akibatnya.
6 Etiket adalah formalitas (lahiriah), tampak dari sikap luarnya penuh dengan sopan santun dan kebaikan. Etika adalah nurani (batiniah), bagaimana harus bersikap etis dan baik yang timbul dari kesadaran dirinya.




3. Macam-macam Etika
a. Etika Deskriptif
Etika deskriptif sebagai sebuah pendekatan dalam etika berusaha melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, seperti adapt kebiasaan, anggapan-anggapan tentang mana yang baik dan mana yang buruk, tindakan apa yang diperbolehkan dan tindakan yang dilarang. Etika deskriptif lebih menekankan pada usaha untuk mempelajari mengenai moralitas yang terdapat dalam individu-individu tertentu, dalam kebudayaan-kebudayaan serta subkultur-subkultur (subcultures) tertentu dalam periode sejaran tertentu pula.sesuai kata “deskritif” yang melekat pada istilah etika deskriptif, maka pendekatan pada bidang etika ini hanya memberi gambaran atau melukiskan semata tanpa memberi penilaian. Misalnya, etika deskriptif yang menggambarkan mengenai adapt mengayau kepala manusia pada masyarakat yang ada disuku-suku pedalaman, tanpa memberi penilaian apakah adat seperti itu harus diterima atau ditolak.

b. Etika Normatif
Etika normatif bukan sekedar menggambarkan norma-norma dimasyarakat namun juga memberi penilaian mengenai baik atau tidaknya norma tersebut. Sehingga bisa kita simpulkan bahwa etika normatif menanggalkan sikap netral yang dianut oleh sikap etika deskriptif. Lebih jauh etika normatif bukan lagi deskptif melainkan preskriptif (memerintahkan) dan menentukan baik atau tidaknya adat, nilai, norma, dan perilaku. Etika normatif terbagi dalam dua ranah kajian yaitu etika umum dan etika khusus. Etika umum mengkaji tema-tema umum dalam etika seperti: apa itu noma etis ? jika banyak norma etis, bagaimana relasinya dengan kita sebagai manusia ?.sedangkan etika khusus lebih mengkaji tema yang berhubungan dengan penerapan prinsip-prinsip etis yang umum dengan perilaku manusia. Dengan redaksional yang lain, dalam etika khusus itu prinsip normatif dikaitkan dengan premis faktual untuk sampai pada kesimpulan etis yang bersifat normatif juga.

c. Metaetika
Kata “meta”dalam bahasa Yunani berarti melebihi atau melampaui. Terminologi disini bukanlah moralitas secara langsung, melainkan ucapan-ucapan kita dibidang moralitas. Metaetika sendiri oleh para filsuf dimasukkan dalam filsafat analitis, suatu aliran yang penting dalam filsafat yang berkembang pesat diabad 20 M dengan dipelopori oleh George Moore, seorang filsuf dari Inggris (Bertens, 2005:19). Jika etika normatif hanya mempelajari mengenai perilaku moral dan memberi penilaian, maka metaetika lebih menekankan pada refleksi mengenai terminologi dan bahasa yang kita gunakan saat beragumentasi.
Etika didefenisikan sebagai studi tentang sifat umum moral dan pilihan-pilihan moral spesifik yang harus dibuat seseorang. Etika menyangkut pilihan-pilihan komunikasi sehingga, dengan memeriksa dan lebih menyadari nilai-nilai kita sendiri, kita lebih bertanggung jawab atas konsekuensi tindakan kita.
Kita semua munkin telah menjadi korban perilaku rindakan etis. Meskipun demikian, kita agaknya lebih peka ketika kita menjadi sasaran komunikasi tidak etis daripada ketika kita menjadi pelakunya. Kadang-kadang kita sekedar merasa bersikap lugas, padahal orang lain merasa “dimanfaatkan”. Bowie berpendapat bahwa yang menjadi pokok masalahnya adalah “suatu prinsip moral yang mendasar, prinsip penghormatan terhadap orang-orang lain”.
Prinsip-prinsip utama etika yang dikemukakan para pemikir barat dan kemudian menelaah beberapa isu yang muncul dalam banyak konteks komunikasi yang berlainan.
1. Prinsip-Prinsip.
a) Pertengahan emas
Prinsip ini dikemukakan oleh Aristoteles, yang mana menurut dia, moralitas harus dibangun dalam moderasi. Ia menganggap setiap kebajikan sebagai pertengahan, jalan tengah antara dua ekstrem, kelebihan dan kekurangan.
Kebenaran adalah pertengahan antara kerendahatian yang palsu dan kesombongan; keadilan adalah pertengahan antara penyaluran barang (atau hukuman) yang terlalu sedikit dan terlalu banyak. Tujuan etika menurut Aristoteles adalah kebahagiaan individu.
b) Imperative Kategoris
Prinsip ini dikemukakan oleh Kant, yang berangggapan suatu perintah atau kewajiban untuk bertindak (suatu “imperatif”) yang mutlak (“kategoris”), tanpa pengecualian atau syarat.
Bagi kant moralitas di ukur oleh niat untuk mematuhi hukum-hukum universal moralitas ketimbang oleh konsekuensi atau hasil tindakan-tindakan kita, sekalipun konsekuensi atau hasil tersebut akan menyelamatkan perasaan seseorang atau melindungi keselamatannya.
c) Utilitarianisme
Filosof inggris Jeremi Bentham dan John Stuart Mill meletakkan nilai primer bukan pada niat moral kita, melainkan pada hasil atau konsekuensi tindakan kita.
Utilitarianisme tumbuh dari keprihatinan untuk melakukan reformasi politik dan sosial, karenanya tekanannya pada manfaat apa yang akan diperoleh sebanyak-banyaknya manusia, dan bertanggung jawab atas reformasi. Menurut pandangan ini, tuntutan dan kesejahteraan perseorangan atau kelompok kecil harus disubordinasikan kepada tuntutan sejumlah besar orang.
d) Keadilan dan Tabir Kebodohan
Prinsip ini dikemukakan oleh Rawls, bahwa suatu prinsip keadilan harus meliputi perlindungan bagi mereka yang posisinya dalam masyarakat adalah yang terlemah, apakah karena usia, penyakit, status, atau penghasilan dan bahwa apa yang bermoral adalah yang adil bagi semua.

2. Isu-Isu
Diantara isu-isu penting dalam etika diantaranya; masalah berbohong dan alasan-alasan yang sering diberikan untuk berbohong. Misalnya, berbohong untuk menghindari bahaya atau untuk melindungi orang lain. Lalu kita membahas persoalan-persoalan mengenai etika kerahasiaan, penyingkapan, dan hak atas privasi, dalam kehidupan public dan kehidupan pribadi. Akhirnya kita juga membahas isu-isu rumit menenai pembocoran rahasia yang dilakukan seorang anggota kelompok dengan membuat tuduhan mengenai adanya pelanggaran standar etika dalam kelompok itu sendiri.





B. MORAL DALAM KOMUNIKASI MASSA
Moral berasal dari bahasa Latin mores, jamak kata mos yang berarti adat kebiasaaan. Moralitas adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang mempunyai nilai positif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Moral artinya ajaran tentang baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, budi pekerti, akhlak. Moral adalah istilah yang digunakan untuk menetukan batas-batas suatu sifat, perangai, kekehndak, pendapat atau perbuatan yang layak dikatakan benar, salah, baik, buruk.
Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu, tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi.
Moral merupakan pengetahuan yang menyangkut budi pekerti manusia yang beradap. Moralisasi, berarti uraian (pandangan, ajaran) tentang perbuatan dan kelakuan yang baik. Demoralisasi berarti kerusakan moral.
Moral dalam zaman sekarang mempunyai nilai implisit karena banyak orang yang mempunyai moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh.
Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk. Moral dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
1. Moral murni, adalah moral yang terdapat pada setiap manusia sebagai suatu pengejawantahan dari pancaran ilahi. Moral murni disebut juga hati nurani.
2. Moral terapan, adalah moral yang didapat dari ajaran pelbagai ajaran filosofis, agama, adat yang menguasai pemutaran manusia.
Berdasarkan kutipan tersebut diatas, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah.
Kesadaran moral erat pula hubungannya dengan hati nurani yang dalam bahasa asing disebut conscience, conscientia, gewissen, geweten, dan bahasa arab disebut dengan qalb, fu'ad. Dalam kesadaran moral mencakup tiga hal. Pertama, perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan yang bermoral. Kedua, kesadaran moral dapat juga berwujud rasional dan objektif, yaitu suatu perbuatan yang secara umumk dapat diterima oleh masyarakat, sebagai hal yang objektif dan dapat diberlakukan secara universal, artinya dapat disetujui berlaku pada setiap waktu dan tempat bagi setiap orang yang berada dalam situasi yang sejenis. Ketiga, kesadaran moral dapat pula muncul dalam bentuk kebebasan.
Berdasarkan pada uraian diatas, dapat sampai pada suatu kesimpulan, bahwa moral lebih mengacu kepada suatu nilai atau system hidup yang dilaksanakan atau diberlakukan oleh masyarakat. Nilai atau sitem hidup tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai yang akan memberikan harapan munculnya kebahagiaan dan ketentraman. Nilai-nilai tersebut ada yang berkaitan dengan perasaan wajib, rasional, berlaku umum dan kebebasan. Jika nilai-nilai tersebut telah mendarah daging dalam diri seseorang, maka akan membentuk kesadaran moralnya sendiri. Orang yang demikian akan dengan mudah dapat melakukan suatu perbuatan tanpa harus ada dorongan atau paksaan dari luar.


B. AKHLAK DALAM KOMUNIKASI MASSA
1. Pengertian Akhlak
Akhlak secara terminologi berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik. Akhlak merupakan bentuk jamak dari kata khuluk, berasal dari bahasa Arab yang berarti perangai, tingkah laku, atau tabiat. Tiga pakar di bidang akhlak yaitu Ibnu Miskawaih, Al Gazali, dan Ahmad Amin menyatakan bahwa akhlak adalah perangai yang melekat pada diri seseorang yang dapat memunculkan perbuatan baik tanpa mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu. Dalam kepustakaan, akhlak diartikan juga sikap yang melahirkan perbuatan (perilaku, tingakah laku) mungkin baik, mungkin buruk.
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak, yaitu pendekatan linguistic (kebahasaan), dan pendekatan terminologik (peristilahan).
Dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa arab, yaitu isim mashdar (bentuk infinitif) dari kata al-akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai timbangan (wazan) tsulasi majid af'ala, yuf'ilu if'alan yang berarti al-sajiyah (perangai), at-thobi'ah (kelakuan, tabiat, watak dasar), al-adat (kebiasaan, kelaziman), al-maru'ah (peradaban yang baik) dan al-din (agama).
Namun akar kata akhlak dari akhlaqa sebagai mana tersebut diatas tampaknya kurang pas, sebab isim masdar dari kata akhlaqa bukan akhlak, tetapi ikhlak. Berkenaan dengan ini, maka timbul pendapat yang mengatakan bahwa secara linguistic, akhlak merupakan isim jamid atau isim ghair mustaq, yaitu isim yang tidak memiliki akar kata, melainkan kata tersebut memang sudah demikian adanya.
Untuk menjelaskan pengertian akhlak dari segi istilah, kita dapat merujuk kepada berbagai pendapat para pakar di bidang ini. Ibn Miskawaih (w. 421 H/1030 M) yang selanjutnya dikenal sebagai pakar bidang akhlak terkemuka dan terdahulu misalnya secara singkat mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Sementara itu, Imam Al-Ghazali (1015-1111 M) yang selanjutnya dikenal sebagai hujjatul Islam (pembela Islam), karena kepiawaiannya dalam membela Islam dari berbagai paham yang dianggap menyesatkan, dengan agak lebih luas dari Ibn Miskawaih, mengatakan akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gambling dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Definisi-definisi akhlak tersebut secara subtansial tampak saling melengkapi, dan darinya kita dapat melihat lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu; pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiaannya. Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa saat melakukan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila. Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan. Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara. Kelima, sejalan dengan ciri yang keempat perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.
Pentingnya kedudukan akhlak, dapat dari berabgai sunnah qauliyah (sunnah dalam bentuk perkataan) Rasulullah. Diantaranya adalah, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak” (H.R. Rawahu Ahmad). “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya” (H.R. Tarmizi).

2. Karakteristik Akhlak dalam Ajaran Islam
Secara sederhana akhlak Islami dapat diartikan sebagai akhlak yang berdasarkan ajaran Islam atau akhlak yang bersifat Islami. Kata Islam yang berada di belakang kata akhlak dalam hal menempati posisi sebagai sifat.
Dengan demikian akhlak Islami adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah, disengaja, mendarah-daging dan sebenarnya yang didasarkan pada ajaran Islam. Dilihat dari segi sifatnya yang universal, maka akhlak Islami juga bersifat universal. Namun dalam rangka menjabarkan akhlak islami yang universal ini diperlukan bantuan pemikiran akal manusia dan kesempatan social yang terkandung dalam ajaran etika dan moral.
Dengan kata lain akhlak Islami adalah akhlak yang disamping mengakui adanya nilai-nilai universal sebagai dasar bentuk akhlak, juga mengakui nilai-nilai bersifat local dan temporal sebagai penjabaran atas nilai-nilai yang universal itu. Namun demikian, perlu dipertegas disini, bahwa akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika atau moral, walaupun etika dan moral itu diperlukan dalam rangka menjabarkan akhlak yang berdasarkan agama (akhlak Islami). Hal yang demikian disebabkan karena etika terbatas pada sopan santun antara sesame manusia saja, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah. Jadi ketika etika digunakan untuk menjabarkan akhlak Islami, itu tidak berarti akhlak Islami dapat dijabarkan sepenuhnya oleh etika atau moral.
Ruang lingkup akhlak Islami adalah sama dengan ruang lingkup ajaran Islam itu sendiri, khususnya yang berkaitan dengan pola hubungan. Akhlak diniah (agama/Islam) mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah, hingga kepada sesame makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda yang tak bernyawa).
Penutup
Akhirnya dilihat dari fungsi dan peranannya, dapat dikatakan bahwa etika, moral, susila dan akhlak sama, yaitu menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk ditentukan baik-buruknya. Kesemua istilah tersebut sama-sama menghendaki terciptanya keadaan masyarakat yang baik, teratur, aman, damai, dan tentram sehingga sejahtera batiniah dan lahiriyah.
Dalam berbagai literature tentang ilmu akhlak islami, dijumpai uraian tentang akhlak yang secara garis besar dapat dibagi dua bagia, yaitu; akhlak yang baik (akhlak al-karimah), dan akhlak yang buruk (akhlak madzmumah). Berbuat adil, jujur, sabar, pemaaf, dermawan dan amanah misalnya termasuk dalam akhlak yang baik. Sedangkan berbuat yang dhalim, berdusta, pemarah, pendendam, kikir dan curang termasuk dalam akhlak yang buruk.
Secara teoritis macam-macam akhlak tersebut berinduk pada tiga perbuatan yang utama, yaitu hikmah (bijaksana), syaja'ah (perwira/ksatria) dan iffah (menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat).
Hukum-hukum akhlak ialah hukum-hukum yang bersangkut paut dengan perbaikan jiwa (moral); menerangkan sifat-sifat yang terpuji atau keutamaan-keutamaan yang harus dijadikan perhiasan atau perisai diri seseorang seperti jujur, adil, terpercaya, dan sifat-sifat yang tercela yang harus dijauhi oleh seseorang seperti bohong, dzalim, khianat. Sifat-sifat tersebut diterangkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dan secara Khusus dipelajari dalam Ilmu Akhlak (etika) dan Ilmu Tasawuf.




D. KETERKAITAN ANTARA ETIKA, MORAL DAN AKHLAK
Jika pengertian etika dan moral dihubungkan satu dengan lainnya, kita dapat mengetakan bahwa antara etika dan moral memiki objek yang sama, yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan manusia selanjutnya ditentukan posisinya apakah baik atau buruk.
Namun demikian dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan. Pertama, kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan moral tolak ukurnya yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat. Dengan demikian etika lebih bersifat pemikiran filosofis dan berada dalam konsep-konsep, sedangkan etika berada dalam dataran realitas dan muncul dalam tingkah laku yang berkembang di masyarakat.
Hubungan etika dan moral yaitu, Moral adalah kepahaman atau pengertian mengenai hal yang baik, dan hal yang tidak baik, sedangkan etika adalah tingkah laku manusia, baik mental maupun fisik mengenai hal-hal yang sesuai dengan moral itu. Etika adalah penyelidikan filosofis mengenai kewajiban manusia serta hal yang baik dan yang tidak baik. Bidang inilah yang selanjutnya disebut bidang moral. Objek etika, adalah pernyataaan-pernyataan moral. Oleh karena itu, etika dapat juga dikatakan sebagai filsafat tentang bidang moral. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia melainkan bagaimana manusia itu harus bertindak.
Dengan demikian tolak ukur yang digunakan dalam moral untuk mengukur tingkah laku manusia adalah adat istiadat, kebiasaan dan lainnya yang berlaku di masyarakat.
Etika dan moral sama artinya tetapi dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian system nilai yang ada.
Perbedaaan antara etika, moral, dan susila dengan akhlak adalah terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika dalam etika penilaian baik buruk berdasarkan pendapat akal pikiran, dan pada moral dan susila berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat, maka pada akhlak ukuran yang digunakan untuk menentukan baik buruk itu adalah al-qur'an dan al-hadis.
Perbedaan lain antara etika, moral dan susila terlihat pula pada sifat dan kawasan pembahasannya. Jika etika lebih banyak bersifat teoritis, maka pada moral dan susila lebih banyak bersifat praktis. Etika memandang tingkah laku manusia secara umum, sedangkan moral dan susila bersifat local dan individual. Etika menjelaskan ukuran baik-buruk, sedangkan moral dan susila menyatakan ukuran tersebut dalam bentuk perbuatan.
Namun demikian etika, moral, susila dan akhlak tetap saling berhubungan dan membutuhkan. Uraian tersebut di atas menunjukkan dengan jelas bahwa etika, moral dan susila berasala dari produk rasio dan budaya masyarakat yang secara selektif diakui sebagai yang bermanfaat dan baik bagi kelangsungan hidup manusia. Sementara akhlak berasal dari wahyu, yakni ketentuan yang berdasarkan petunjuk Al-Qur'an dan Hadis. Dengan kata lain jika etika, moral dan susila berasal dari manusia sedangkan akhlak berasal dari Tuhan.
Akhlak Islami berbeda dengan moral dan etika. Perbedaannya dapat dilihat terutama dari sumber yang menentukan mana yang baik mana yang buruk. Yang baik menurut akhlak adalah segala sesuatu yang berguna, yang sesuai dengan nilai dan norma agama; nilai serta norma yang terdapat dalam masyarakat, bermanfaat bagi diri sendir serta orang lain. Yang buruk adalah segala sesuatu yang tidak berguna, tidak sesuai dengan nilai dan norma agama serta nilai dan norma masyarakat, merugikan masyarakat dan diri sendiri. Yang menetukan baik atau buruk suatu sikap (akhlak) yang melahirkan perilaku atau perbuatan manusia, di dalam agama dan ajaran Islam adalah Al-Qur’an yang di jelaskan dan di kembangkan oleh Rasulullah dengan sunnah beliau yang kini dapat dibaca dalam kitab-kitab hadits. Yang menentukan perbuatan baik atau buruk dalam moral dan etika adalah adat-istiadat dan pikiran manusia dalam masyarakat pada suatu tempat di suatu masa. Oleh karena itu, di pandang dari sumbernya, akhlak Islami bersifat tetap dan berlaku untuk selama-lamanya, sedangkan moral dan etika berlaku selama masa tertentu di suatu tempat tertentu. Konsekuensinya, akhlak Islam bersifat mutlak, sedang moral dan etika bersifat relatif (nisbi).
Konsep Negara dan Pemimpin dalam Islam
KONSEP NEGARA DAN PEMIMPIN DALAM ISLAM

A. KONSEP NEGARA ISLAM
1. Struktur Sebuah Negara
Imam Mawardi membagi lembaga-lembaga kekuasaan dibawah khalifah atas :
a) Kekuasaan (wilayat) umum dalam lapangan umum (kementrian/al-wizarat), Kekuasaannya dikatakan umum karena meliputi suatu masalah secara umum. Lapangannya dikatakan umum karena meliputi seluruh negeri.
b) Kekuasaan (wilayat) umum dalam lapangan khusus (kegubernuran/kekuasaan daerah otonomi). Kekuasaannya dikatakan umum karena menyangkut segenap masalah dalam daerah otonomimya, namun lapangannya khusus karena kekuasaan tersebut hanya meliputi daerah otonominya saja.
c) Kekuasaan (wilayat) khusus dalam lapangan umum adalah lembaga-lembaga semacam Mahkamah Agung, Panglima Besar Angkatan Perang, dan Lembaga Pengendali Keuangan Negara. Kekuasaan mereka dikatakan khusus karena hanya menangani masalah-masalah khusus. Lapangannya dikatakan umum karena meliputi segenap negeri.
d) Kekuasaan (wilayat) khusus dalam lapangan khusus adalah lembaga-lembaga semacam Pengadilan Daerah, Lembaga Keuangan Daerah, Lembaga Militer Daerah, dan berbagai lembaga serupa yang ada di tingkat daerah / negara bagian.

Pembagian Mawardi diatas harus dipahami dalam kerangka bahwa khalifah merupakan institusi tertinggi dalam negara, meskipun tidak secara serta merta bisa bertindak otoriter, karena kedaulatan tetap di tangan rakyat didalam bingkai nilai-nilai syariat.
Pembagian Mawardi diatas cukup sistematis. Namun lagi-lagi perlu ditegaskan, konteks yang dipakai adalah khalifah sebagai institusi tertinggi. Poin ini perlu ditegaskan karena di era modern telah muncul model kekuasaan dimana kepala negara bukanlah institusi tertinggi. Sebut saja sistem negara parlemen. Dalam sistem ini, parlemen merupakan institusi tertinggi dan bukan kepala negara.
Bagaimanakah keberadaan parlemen menurut Islam ? Dalam sistem Islam terdapat suatu lembaga yang mirip dengan parlemen, yang sering disebut sebagai ahlul hall wal ‘aqd. Namun lembaga ini tidaklah sama persis dengan parlemen. Ahlul hall wal ‘aqd hanya bertugas untuk menetapkan atau menurunkan khalifah (termasuk juga mengontrol khalifah), tidak lebih dari itu. Artinya, tatkala khalifah sudah terpilih dan dia sanggup berlaku adil maka ahlul hall wal ‘aqd seolah-olah tidak diperlukan lagi. Ahlul hall wal ‘aqd akan diperlukan lagi ketika khalifah tidak berlaku adil atau ketika khalifah perlu diturunkan. Jadi, institusi tertinggi adalah khalifah, namun pada suatu saat institusi tertinggi bisa diambil alih oleh ahlul hall wal ‘aqd, yang pada dasarnya berarti diambil alih oleh rakyat.
Adapun mengenai kekuasaan yudikatif, agaknya hampir setiap sistem negara (termasuk sistem Islam) menempatkannya dalam posisi independen. Hal ini adalah niscaya karena hukum harus ditempatkan dalam posisi tertinggi, untuk menjamin keadilan bagi semuanya.

2. Syarat-syarat Berdirinya Sebuah Negara
Sebuah negara bisa berdiri apabila ia memiliki wilayah, rakyat, dan pemimpin bagi rakyat tersebut. Hubungan antara rakyat dan pemimpin terwujud dalam aturan-aturan yang sering disebut sebagai undang-undang.
Negara Islam merupakan negara yang didirikan atas dasar keyakinan (aqidah), bukan atas dasar letak geografis, etnis, ataupun aspek-aspek alam lainnya. Karena itu, Negara Islam bersifat universal (dan karenanya multietnis).
Khilafah Islam (Negara Islam), meskipun bersifat universal (‘alamiyyat), tidaklah harus berwilayahkan seluruh penjuru bumi, untuk bisa disebut sebagai sebuah negara (Islam). Negara Madinah pun hanya memiliki wilayah yang tidak terlalu luas, namun toh sudah bisa disebut sebagai sebuah negara Islam, bahkan sebuah negara ideal. Yang terpenting adalah bahwa wilayah tersebut dikuasai oleh satu payung kekuasaan. Satu wilayah tidak boleh dikuasai oleh lebih dari satu payung kekuasaan yang sama tinggi.
Karena berdirinya sebuah negara merupakan kontrak sosial, maka kontrak antara rakyat dan seorang pemimpin tertinggi merupakan faktor yang mesti ada. Tanpa kontrak tersebut, seluruh warga di wilayah tersebut tidak lebih hanyalah segerombolan manusia saja. Gerombolan-gerombolan manusia seperti itu bisa kita amati pada pola hidup masyarakat nomaden, yang senantiasa berpindah-pindah dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Untuk itulah, Islam telah mengarahkan manusia untuk hidup secara menetap dengan menyepakati suatu aturan hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu. Pola hidup menetap merupakan salah satu ciri manusia beradab. Dengan pola hidup menetap, manusia akan dapat menunaikan berbagai nilai kemanusiaan, yang sulit untuk dapat ditunaikan dengan pola hidup nomaden.
Aturan atau undang-undang merupakan unsur yang mesti ada dalam suatu negara. Undang-undang akan mengatur hubungan antar individu untuk mencapai keadilan dan kemaslahatan bersama. Tanpa undang-undang, pola hidup manusia tidak akan berbeda dengan pola hidup hewan. Padahal, manusia diciptakan dengan berbagai kelebihannya adalah untuk menjadi manusia, dan bukan untuk menjadi hewan.

3. Paradigma Hubugan Agama dan Negara.
Negara dipahami sebagai lembaga politik yang merupakan manifestasi dari kebersamaan dan keberserikatan sekelompok manusia untuk mewujudkan kebaikan dan kesejahteraan bersama. Dalam pemikiran politik Islam terdapat, paling tidak ada tiga paradigma tentang hubungan agama dan Negara.
a) Mengajukan konsep bersatunya agama dan Negara. Agama Islam dan Negara, dalam hal ini, tidak dapat dipisahkan (integrated). Wilayah agama juga meliputi politik atau Negara. Karena Negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan Negara diselengarakan atas dasar “kedaulatan ilahi”, karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di “tangan” Allah.
b) Memandang agama dan Negara berhubungan secara simbiotik, yaitu berhubungan timbal-balik dan saling memerlukan. Agama memerlukan Negara, karena dengan Negara agama dapat berkembang. Sebaliknya Negara memerlukan agama, karena dengan agama Negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral.
c) Bersifat sekularistik. Paradigma ini mengajukan pemisahan antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma skularistik menolak pendasaran Negara kepada Islam, atau paling tidak menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu daripada Negara.
Paradigma pertama memecahkan masalah dikotomi dengan mengajukan konsep bersatunya agama dan negara. Agama dan negara dalam hal ini tidak dapat dipisahkan. Wilayah agama juga meliputi politik atau negara, karenanya menurut paradigma ini negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus.
Paradigma ini dianut kelompok Syi'ah, di mana pemikiran politiknya memandang bahwa negara (imâmah atau kepemimpinan) adalah lembaga keagamaan dan mempunyai fungsi kenabian. Dalam pandangannya, legitimasi keagamaan berasal dari Tuhan dan diturunkan lewat garis keturunan Nabi. Legitimasi politik harus berdasarkan legitimasi keagamaan, dan hal ini hanya dimiliki para keturunan Nabi SAW.
Berbeda dengan pemikiran politik Sunni, kelompok ini menekankan ijma' (konsesus) dan bai'ah (penbaiatan) kepada kepala negara. Sementara Syi'ah menekankan wilâyah (kecintaan dan pengabdian kepada Tuhan) dan ishmah (kesucian dari dosa) yang hanya dimiliki para keturunan Nabi yang berhak dan absah untuk menjadi kepala negara (imâm). Sebagai lembaga politik yang didasarkan atas legitimasi keagamaan dan mempunyai fungsi menyelenggarakan "kedaulatan Tuhan" dalam perspektif syi'ah, negara bersifat teokrasi.
Menurut salah seorang kelompok ini, al-Maududî (w. 1979 M), syari'at tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik (negara). Syari'at adalah skema kehidupan yang sempurna dan meliputi seluruh tatanan kemasyarakatan, tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang. Namun dia menolak istilah teokrasi, dan memilih istilah teodemokrasi, karena konsepsinya memang mengandung unsur demokrasi, yaitu adanya peluang bagi rakyat untuk memilih pemimpin negara.
Paradigma kedua memandang agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu berhubungan erat secara timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral.
Al-Mâwardî (w. 1058 M) menegaskan bahwa kepemimpinan negara merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia. Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktivitas yang berbeda, namun berhubungan secara simbiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian.
Secara umum, polarisasi kecenderungan para pemikir politik Islam dalam memandang konsep negara dapat dikelompokkan kepada:
a) Skripturalistik dan Rasionalistik.
Kecenderungan skripturalistik menampilkan pemahaman yang bersifat tekstual dan literal, yaitu penafsiran terhadap al-Qur'ân dan Hadis yang mengandalkan pengertian bahasa. Sedangkan kecenderungan rasionalistik menampilkan penafsiran yang rasional dan kontekstual.
b) Idealistik dan Realistik.
Pendekatan pertama cenderung melakukan idealisasi terhadap sistem pemerintahan dengan menawarkan nilai-nilai Islam yang ideal. Kaum idealis cenderung menolak format kenegaraan yang ada, sementara kaum realis cenderung untuk menerimanya, karena orientasi mereka yang bersifat realistik terhadap kenyataan politik.
c) Formalistik dan Substantivistik
Pendekatan formalistik cenderung mementingkan bentuk dari pada isi, yang pada gilirannya menampilkan konsep negara dan simbolisasi keagamaan. Sebaliknya, pendekatan substantivistik cenderung menekankan isi dari pada bentuk. Kelompok ini tidak mempersoalkan bagaimana bentuk dan format sebuah negara, tetapi lebih memusatkan perhatian pada bagaimana mengisinya dengan etika dan moralitas agama.
Sebenarnya masalah politik atau pengaturan negara termasuk urusan duniawi yang bersifat umum. Panduan al-Qur'ân juga sunnah bersifat umum. Karena itu, permasalahan politik termasuk wilayah ijtihad umat Islam. Tugas cendekiawan muslim adalah berusaha secara terus menerus untuk menjadikan al-Qur'ân sebagai sistem yang konkrit supaya dapat diterjemahkan dalam pemerintahan sepanjang zaman. Inilah yang dilakukan empat khalîfah sesudah Nabi, sehingga walaupun mereka berada dalam rangka pengamalan ajaran Islam, pengorganisasian pemerintahnya berbeda antara satu dengan lainnya.


4. Hubungan Antar Negara (Darul Islam, Darul ‘Ahd, dan Darul Harb)
Dalam sistem politik Islam, status negara-negara dibedakan atas Darul Islam (Negara Islam), Darul ‘Ahd (Negara Dalam Perjanjian), dan Darul Harb (Negara Yang Diperangi). Sebetulnya klasifikasi ini merupakan hasil ijtihad para ulama, jadi bukan sesuatu yang dinashkan oleh Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Kebanyakan para ulama mendefinisikan Darul Islam sebagai negara yang menerapkan hukum-hukum Islam dan diperintah oleh penguasa muslim. Darul ‘Ahd ialah negara non muslim yang mengikat perjanjian dengan Darul Islam bahwa mereka tidak akan memerangi Darul Islam dan akan membayar jizyah selama keamanan mereka dijamin oleh Darul Islam. Sementara Darul Harb ialah negara kafir yang menyerang Islam atau menghalang-halangi dakwah Islam.
Serupa dengan klasifikasi negara diatas ialah klasifikasi warganegara : muslim, kafir dzimmiy, kafir mu’ahhad, dan kafir harbiy.
Klasifikasi-klasifikasi diatas pada dasarnya didasarkan atas sabda Nabi bahwa sebelum pasukan Islam berangkat ke medan jihad, Nabi berpesan,”Sampaikanlah dakwah Islam. Jika mereka menerima (masuk Islam) maka darah mereka haram (untuk dibunuh). Namun jika mereka menolak, tawarkanlah dua pilihan : membayar jizyah atau diperangi”.
Perlu dicamkan bahwa pemahaman terhadap hadits diatas tidak bisa dilepaskan dari pemahaman terhadap konsep dakwah Islam. Karena Islam bersifat universal, maka Islam harus disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia. Penyebaran opini Islam secara benar dan utuh tidak boleh dihalang-halangi atau dibiaskan. Dengan demikian umat manusia akan sanggup melihat wajah Islam yang sebenarnya. Selanjutnya manusia diberi kebebasan untuk memilih: ber-Islam atau tidak, tanpa ada paksaan sedikit pun juga. Kebebasan memilih inilah yang akan membawa manusia kepada pahala dan siksa. Jadi, yang dikehendaki oleh Islam adalah penyebaran opini (seruan) Islam tanpa penghalang. Negara Islam, dalam hal ini, bertugas untuk menyingkirkan segala bentuk penghalang bagi tersebarnya seruan Islam.
Selanjutnya, bagaimanakah hubungan antara Negara Islam (Darul Islam) dan Negara Non-Islam ? Terhadap Negara Dalam Perjanjian (Darul ‘Ahd), Negara Islam harus berdamai dan menunaikan segala poin Perjanjian. Adapun terhadap Negara Yang Diperangi (Darul Harb) – dengan definisi diatas -, Negara Islam wajib memerangi mereka, sampai faktor-faktor yang menyebabkan kebolehan memerangi mereka menjadi tiada.
Para pemikir politik Islam abad pertengahan banyak mengadopsi pikiran Plato dan Aristoteles mengenai konsep terbentuknya negara. Mereka berangkat dari asumsi dasar bahwa manusia adalah makhluk sosial. Seperti dikatakan al-Ghazalî, manusia itu tidak dapat hidup sendirian yang disebabkan oleh dua hal. Pertama, kebutuhan akan keturunan demi kelangsungan hidup umat manusia, hal itu hanya mungkin melalui pergaulan antara laki-laki dan perempuan serta keluarga. Kedua, saling membantu dalam penyediaan bahan makanan, pakaian, dan pendidikan anak.
Kebutuhan akan kerja sama untuk mengadakan segala yang diperlukan bersama akan berakibat timbulnya semacam pembagian tugas di antara anggota masyarakat, kemudian lahirlah kelompok petani, pekerja, dan sebagainya. Semua faktor ini memerlukan kerja sama yang baik antar sesamanya. Untuk itu diperlukan tempat tertentu, dan dari sinilah lahir suatu negara.
Dalam pandangan Ibn Taimiyah negara dan agama saling berkelindan, tanpa kekuasaan negara yang bersifat memaksa agama berada dalam bahaya. Tanpa disiplin hukum wahyu, negara pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik. Juga dengan Ibn Khaldûn, organisasi kemasyarakatan suatu kemestian bagi manusia. Tanpa itu eksistensi mereka tidak akan sempurna, sebagaimana kehendak Allah menjadikan mereka sebagai khalîfah-Nya untuk memakmurkan bumi.
Seorang pemikir lain yang juga dapat disebut sebagai pembawa pandangan simbiosa agama dan negara adalah al-Ghazalî (w. 1111 M). Konsep far'i izâdî yang menjadi dasar simbiosa agama dan negara dalam pemikirannya mempunyai akar sejarah pada pemikiran pra-Islam Iran. Konsep ini mengandung arti kualitas tertentu yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin atau kepala negara, seperti pengetahuan, keadilan, dan kearifan. Kualitas demikian diyakini bersumber pada Tuhan dan bersifat titisan.
Peradigma ketiga bersifat sekuralistik. Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun simbiotik antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekuralistik menolak pendasaran agama pada negara, atau paling tidak menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu pada negara.
Pada tahun 1925 'Ali Abdur Raziq menerbitkan risalah yang berjudul al-Islâm Wa ushûl al-Hukm, dikatakan bahwa Islam (al-Qur'ân) tidak mempunyai kaitan apapun dengan sistem pemerintahan kekhalifahan, termasuk dengan khulafâur râsyidîn bahwa aktivitas mereka bukan sebuah sistem politik keagamaan, tetapi sebuah sistem duniawi. Islam tidak menetapkan rezim pemerintahan tertentu, tidak pula mendesak kepada kaum muslimin tentang sistem pemerintahan tertentu lewat mana mereka harus diperintah, tetapi Islam telah memberikan kebebasan mutlak untuk mengorganisasi negara sesuai dengan kondisi intelektual, sosial, dan ekonomi serta mempertimbangkan perkembangan sosial dan tuntutan zaman. Bahkan ia menolak keras pendapat yang mengatakan bahwa Nabi pernah mendirikan suatu negara di Madinah. Menurutnya, Nabi adalah utusan Allah, bukan seorang kepala negara atau pemimpin politik.
Dari pandangannya dapat disimpulkan, masyarakat Islam bukanlah masyarakat politik. Akan tetapi selalu ada peluang bagi masyarakat untuk mewujudkan bentuk pemerintahan Islam yang sesuai dengan konteks budaya. Ia sebenarnya tidak bermaksud mengatakan bahwa Islam tidak menganjurkan pembentukan suatu negara. Sebaliknya, Islam memandang penting kekuasaan politik. Tetapi hal ini tidak berarti pembentukan negara merupakan salah satu ajaran dasar Islam. Dengan lain ungkapan, kekuasaan politik diperlukan umat Islam, tetapi bukan karena tuntutan agama, melainkan tuntutan situasi sosial dan politik itu sendiri.
Dalam perspektif teologis dan historis untuk membuktikan bahwa tindakan politik Nabi seperti, melakukan perang, mengumpulkan jizyah (pajak), dan bahkan jihad tidak berhubungan dan tidak merefleksikan fungsinya sebagai utusan Tuhan. Persoalan negara adalah persoalan duniawi yang telah diserahkan Tuhan kepada akal manusia untuk mengaturnya sesuai dengan arah kecendrungan akal dan pengetahuannya.
Beberapa kalangan pemikir muslim berpendapat bahwa Islam tidak meletakkan suatu pola baku tentang teori negara yang harus dijalankan umat. Seorang pemikir muslim Mesir, Muhammad 'Imarah, sebagaimana dikutip Bahtiar Effendy mengatakan, Islam sebagai agama tidak menentukan suatu sistem pemerintahan tertentu bagi kaum muslim, karena logika tentang kesesuaian agama ini untuk sepanjang masa dan tempat menuntut agar permasalahan yang selalu berubah secara evolusi diserahkan kepada akal pikiran manusia menurut kepentingan umum yang telah digariskan agama.
Pendapat di atas ada kemiripan dengan 'Abduh, menurut 'Abduh Islam tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan. Jika sistem khalîfah masih tetap menjadi pilihan sebagai model pemerintahan maka bentuk demikianpun harus mengikuti perkembangan masyarakat dalam kehidupan materi dan kebebasan berpikir. Ini mengandung makna, 'Abduh menghendaki suatu pemerintahan yang dinamis. Dengan demikian ia mampu mengantisipasi perkembangan zaman.
Menurut aliran pemikiran ini, istilah "daulah" yang berarti negara tidak ditemukan dalam al-Qur'ân. Meskipun terdapat berbagai ungkapan yang merujuk kepada kekuasaan politik dan otoritas, akan tetapi ungkapan tersebut hanya bersifat insidental dan tidak ada pengaruhnya terhadap mekanisme teori politik atau model tertentu dari sebuah negara.
Dalam rangka menyusun teori politik Islam mengenai konsep negara yang ditekankan bukanlah struktur "negara Islam", melainkan substruktur dan tujuannya. Sebab struktur negara akan berbeda di satu tempat dan tempat lainnya. Ia termasuk wilayah ijtihad kaum muslimin sehingga bisa berubah. Sementara substruktur dan tujuannya tetap menyangkut prinsip-prinsip bernegara secara Islami.
Namun penting untuk dicatat, bahwa al-Qur'ân mengandung nilai-nilai dan ajaran yang bersifat etis mengenai aktifitas sosial politik umat manusia. Ajaran ini mencakup prinsip-prinsip tentang keadilan, persamaan, persaudaraan, musyawarah, dan lain-lain. Untuk itu sepanjang negara berpegang kepada prinsip-prinsip tersebut maka pembentukan "negara Islam" dalam pengertian yang formal dan ideologis tidaklah begitu penting.
Ada beberapa ayat al-Qur'ân yang menggambarkan prinsip-prinsip di atas, atau secara implisit menampilkan sebagai ciri negara demokrasi di antaranya adalah:
Keadilan (QS. 5:8)
Berlaku adillah kalian karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.
Musyawarah (QS. 42:38)
Sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka.
Menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran (QS. 3:110)
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, dan berimanlah kepada Allah.
Perdamaian dan persaudaraan (QS. 49:10)
Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqkwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.
Keamanan (QS. 2:126)
Dan ingatlah ketika Ibrahim berdo'a, Ya Tuhanku jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa.
Persamaan (QS. 16:97 dan 40:40)
Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (QS. 16:97).

Apabila prinsip-prinsip di atas benar-benar ditegakkan dalam sebuah negara, tanpa melihat simbol atau bentuk legal-formal negara itu sendiri maka apa yang Allah telah lukiskan dalam al-Qur'ân surat Saba' ayat 15 akan dapat dirasakan. Firman Allah tersebut:
Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): Makanlah olehmu rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun (QS. 34:15).
Apa yang dikatakan Ibn Taimiyah, negara sebagai sesuatu yang perlu untuk menegakkan suruhan agama, tetapi eksistensinya adalah sebagai alat belaka dan bukan lembaga keagamaan itu sendiri. Jadi, kalau negara adalah alat yang perlu untuk menegakkan agama, maka manusia tentu tidak akan menggunakan alat yang sama dari suatu masa ke masa yang lain. Suatu alat dalam makna yang lazim dipahami mungkin akan lebih canggih berbanding dengan alat yang lain yang dipergunakan di masa silam meskipun keduanya dipergunakan untuk mencapai maksud yang sama. Tuhan akan melanggengkan suatu negara yang menjaga prinsip keadilan, walaupun negara tersebut secara formal bukan negara Islam. Tetapi sebaliknya, Tuhan akan menghancurkan apabila nilai-nilai tersebut dikesampingkan.
Penutup
Al-Qur'ân maupun sunnah tidak memiliki preferensi terhadap sistem politik yang mapan untuk menetukan bentuk legal-formal negara yang ideal. Islam hanya memiliki seperangkat nilai etis yang dapat dijadikan rujukan dalam penyelenggaraan negara yang sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Persoalan politik (negara) lebih merupakan urusan kreatifitas manusia, atau kerangka wilayah fiqh yang perlu dilakukan ijtihad. Sebagai wilayah fiqh maka setiap rumusan dan interpretasi yang dihasilkan tentu berbeda, karena paradigma yang digunakan pun juga berbeda.
Sepanjang negara berpegang kepada nilai-nilai yang ada dalam al-Qur'ân maka pembentukan "negara Islam" dalam pengertian yang formal dan ideologis tidaklah begitu penting. Yang penting adalah substansinya, artinya nilai-nilai al-Qur'ân seperti, musyawarah (syûrâ), keadilan ('adâlah), persamaan (musâwah), hak-hak asasi manusia (huqûq al-adamî), perdamaian (shalâh), keamanan (aman) dan lain-lain bisa direalisasikan dalam konteks bernegara. Sehingga pada akhirnya baldatun toyyibatun wa robbun ghafur bukan hanya sekedar ide dan cita-cita, tetapi sebuah realita yang bisa dirasakan.

5. Karakter Negara Madinah (Masa Nabi dan Khulafa’ Rasyidun)
Umat Islam berkeyakinan bahwa pendirian Negara Madinah merupakan wahyu dari Allah dan bukan semata-mata pemikiran sosio-politik Nabi. Lebih jauh lagi, umat Islam berkeyakinan bahwa Nabi merupakan teladan terbaik dalam segenap aspek kehidupan, tidak terkecuali dalam masalah sosial politik. Oleh karena itu, Negara Madinah merupakan model negara ideal yang harus ditiru oleh umat Islam sepanjang masa.
Segera setelah Nabi menginjak tanah Madinah, beliau melakukan lobi-lobi dengan berbagai elemen masyarakat Madinah untuk membuat suatu kesepakatan bersama. Akhirnya, kesepakatan bersama itu bisa dicapai dan mengikat seluruh elemen masyarakat Madinah. Kesepakatan bersama itu sering disebut sebagai Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah (Mitsaq al-Madinat). Konstitusi Madinah memuat aturan-aturan tentang interaksi antara warga Madinah, yang terdiri dari komunitas muslim, Ahlul Kitab, dan kaum paganis. Berangkat dari konstitusi inilah Negara Madinah dibangun. Negara Madinah, sebagai sebuah negara yang beribukotakan Madinah (Madinat al-Nabiy), berturut-turut diperintah oleh Rasulullah dan Khalifah Yang Empat.
Negara Madinah dibangun diatas nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan yang elegan. Pembinaan keimanan, keadilan bagi semua, kesamaan derajat (egaliterisme), dan keterbukaan merupakan beberapa diantaranya. Secara esensial, Negara Madinah merupakan suatu negara yang paling sophisticated yang pernah ada sepanjang jaman.
Untuk membentuk negara ideal semacam Madinah, dibutuhkan instrumen-instrumen yang tidak mudah untuk dicapai. Instrumen-instrumen yang dimaksud adalah pemimpin yang baik, rakyat yang baik, dan aturan (undang-undang) yang baik. Apabila salah satu saja diantara instrumen-instrumen tersebut tidak terpenuhi, maka negara ideal tidak akan bisa terwujud. Misalnya, kalaupun pemimpin dan undang-undangnya baik tetapi rakyatnya tidak baik, maka yang ada hanyalah pembangkangan-pembangkangan. Kalaupun rakyat dan undang-undangnya baik tetapi pemimpinnya tidak baik, maka yang ada hanyalah kelaliman-kelaliman penguasa. Kalaupun rakyat dan pemimpinnya baik tetapi aturannya masih buruk, maka masing-masing pihak akan melangkah dalam arah yang salah. Untuk bisa meluruskan langkah, mereka harus membuat aturan baru.
Diantara kepemimpinan khulafa’ rasyidun, kepemimpinan Abu Bakr dan ‘Umar merupakan kepemimpinan yang lebih utama, dari sisi tidak adanya (minimnya) gejolak-gejolak yang timbul. Namun dari sisi pribadi, tidaklah bisa dikatakan bahwa Abu Bakr dan ‘Umar lebih mulia daripada yang lainnya, karena masing-masing dari keempat khalifah memiliki tantangan zaman yang berbeda. Tolok ukur terhadap pribadi-pribadi harus didasarkan pada bagaimana tindakan mereka dalam menghadapi berbagai tantangan yang ada, dan tidak didasarkan pada hasilnya.
Watak rakyat di masa Abu Bakr dan ‘Umar barangkali lebih baik daripada watak rakyat di masa Utsman dan Ali. Disamping itu, iklim dan tantangan politik di masa Utsman dan Ali jauh lebih berat dan kompleks daripada apa yang ada pada masa Abu Bakr dan ‘Umar. Timbulnya konflik tidaklah secara serta merta menyebabkan suatu negara menjadi buruk, tetapi bagaimana negara menangani konflik itulah yang akan menentukan baik buruknya suatu negara.


PENGERTIAN PEMERINTAH
Secara etimologi pemerintahan berasal dari dua kata sebagai berikut :
1. Kata dasar perintah berarti, menyuruh.
2. Penambahan awalan pe menjadi pemerintah berarti badan yang melakukan kekuasaan memerintah.
3. Penambahan akhiran an menjadi pemerintahan berarti perbuatan, cara, hal, atau urusan dari badan yang memerintah tersebut.
Di beberapa Negara, antara pemerintah dan pemerintahan tidak dibedakan. Inggris menyebutkannya government dan Prancis menyebutnya government keduanya berasal dari perkataan Latin gubernacalum. Dalam bahasa Arab disebut hukumat, di Amerika Serikat desut dengan administration, sedangkan Belanda mengartikan regering sebagai penggunaan kekuasaan Negara oleh yang berwenang untuk menentukan keputusan dan kebijaksanaan. Hal itu dilakukan dalam rangka mewujudkan tujuan Negara, dan sebagai penguasa menetapkan perintah-perintah.
Jadi, regen digunakan untuk pemerintah pada tingkat nasional atau pusat. Bestuur diartikan keseluruhan badan pemerintah dan kegiatannya langsung berhubungan dengan usaha mewujudkan kesejahteraan rakyat. Sebaliknya dalam penyelenggaraan pemerintahan dikenal istilah binnenlandsberstuurs (pemerintahan dalam negeri) dan algemeensbestuurs dients (pemerintahan umum atau pemerintahan pusat yang merupakan korps pamong praja).
Menurut Samuel Edward Finer dalam bukunya yang terkenal Comparative Government, mengatakan bahwa pemerintah harus mempunyai kegiatan yang terus-menerus (process), harus mempunyai Negara tempat kegiatan itu berlangsung (state), mempunyai pejabat memerintah (the duty) dan mempunyai cara, metode serta system (manner, methode, and system) terhadap rakyat.
Kemudian Mac Iver melihat bagaimana Machiavelli menganjurkan para penguasa mengombinasikan kelicikan (cunning) dengan sikap tidak mengenal belas kasihan. Dari hal ini Iver menganggap bahwa pemerintah hanyalah suatu seni saja.
Musanef memberikan definisi ilmu pemerintahan sebagai berikut.
Ilmu pengetahuan yang menyelidiki bagaimana sebaiknya hubungan antara pemerintah dan yang diperintah, dapat diukur sedemikian rupa sehingga dapat dihindari timbulnya berbagai pertentangan antara pihak yang satu dengan pihak yang lain, dan mengusahakan agar terdapat keserasian pendapat serta daya tindak efektif dan efisien dalam pemerintahan.
Prajudi Atmosudirdjo dalam berbagai kuliahnya menyampaikan bahwa tugas pemerintah antara lain tata usaha Negara, rumah tangga Negara, pemerintahan, pembangunan, dan pelestarian lingkungan hidup. Sebaliknya fungsi pemerintahan adalah peraturan, pembinaan masyarakat, kepolisian, dan peradilan. Karena tugas pemerintah adalah tugas Negara yang dilimpahkan atau dibebankan kepada badan konstitutif (MPR), pengawasan politik dan legislative (DPR), pengawasan financial (Bepeka), konsultatif (DPA) dan yudikatif (MA). Dlam hal ini yang dimaksud dengan tugas Negara adalah pemerintah arti luas.
Bintoro Tjokroamindjojo dalam bukunya pengantar administrasi pembangunan menyebutkan pula peranan dan fungsi pemerintah sebagai berikut.
Perencanaan serta fungsi pemerintah terhadap perkembangan masyarakat tergantung pada beberapa hal :
Yang pertama adalah filsafat hidup kemasyarakatan dan politik masyarakat. Ada Negara yang memberikan kebebasan yang cukup besar kepada anggota masyarakat untuk menumbuh kembangkan masyarakat, sehingga pemerintah diharapkan tidak terlalu banyak campur tangan dalam kegiatan masyarakat. Namun, ada pula Negara yang filsafat hidupnya menghendaki Negara dan pemerintah memimpin serta mengurus segala sesuatu dalam kehidupan masyarakatnya. Seperti filsafat politik sosialis tradisional. Hal ini berkaitan dengan suatu pandangan bahwa pemerintah sebagai pemegang mandate untuk mengusahakan kepentingan dan keadilan dalam masyarakt secara keseluruhan. Ini perlu dinyatakan dan tetap memperhatikan kepentingan golongan ekonomi lemah.
Pada Negara yang sedang berkembang, peran pemerintah sangat penting dan menonjol. Karena pemerintah yang berperan menggali, menggerakan, dan mengombinasikan berbagai factor, seperti tenaga terlatih, biaya, peralatan, partisipasi, dan kewenangan yang sah. Pemerintah memegang peran sentral dalam pembangunan nasional. Hal ini terlihat dalam peraturan administrasi Negara, pemerintah mengurus masyarakat yang belum melahirkan (dengan keluarga berencana) sampai kepada masyarakat yang sudah meninggal dunia (dengan dinas pemakaman).
Setiap Negara tidak memiliki berbagai kesamaan dalam pengaturan pemerintahannya, bahkan suatu Negara akan berkembang tergantung pada situasi dan kondisi setempat. Jadi, keanekaragaman dalam system ini disebabkan waktu, tempat, dan lingkungan yang berbeda. Indonesia berbeda dengan Filipina, bahkan Kerajaan Majapahit yang didirikan diatas reruntuhan Kerajaan Singasari jauh berbeda antara kedua kerajaan tersebut. Pemerintahan pada Orde Lama ada perbedaan dengan senasa Orde Baru.
Pemerintah dalam arti organnya dapat dibedakan sebagai berikut :
1. Pemerintah dalam arti sempit, terbatas pada lembaga yang memegang kekuasaan eksekutif.
2. Pemerintah dalam arti luas, mencakup kekuasaan eksekutif, legislative, dan yudikatif.
Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan menjalankan undang-undang, system kabinet presidensial dipegang oleh presiden sebagai pimpinan kabinet atau dewan menteri-menteri.
System kabinet parlementer, dipegang oleh perdana menteri sebagai pimpinan kabinet (dewan menteri-menteri). Dalam kabinet parlementer ini, kepada Negara hanya sebagai symbol belaka, karena tidak memegang kekuasaan pemerintahan. Umumnya dimiliki oleh Negara kerajaan, yang menghargai turunan bangsawan tertentu, sepanjang raja atau sultan tidak sekaligus memegang tampuk pemerintahan.

PERMASALAHAN
Membahas masalah pemerintahan dengan mempedomani Al-Qur’an, bagi sebagian orang masih dianggap riskan, kendati Alqur’an adalah pegangan umat Islam. Hal ini karena pemerintahan dianggap sebagai salah satu dari ilmu keduniawian, sedangkan Alqur’an dianggap khusus petunjuk bagi orang islam.
Selama ini sudah banyak penulis dari dalam dan luar negeri yang membahas dengan rinci tentang petunjuk Alqur’an terhadap pemerintahan (hukumat), politik (siyasiyah), administrasi (yudabbiru), kenegaraan (daulah), dan kekuasaan (sulthaniyah).
Kilas balik dari abad kea bad menunjukkan bahwa Negara-negara Selatan yang sebagian besar Negara Islam, dipermalukan oleh cirinya, yaitu kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Kendati Alqur’an mengangkat ketiganya dan menanggulanginya dengan sangat mendasar. Sejarah memperlihatkan bahwa Muhammad saw. berhasil mendirikan suatu system pemerintahan, kemudian berpengaruh keseluruh penjuru dunia tanpa bantuan kekuasaan dan kekuatan banyak umat. Beliau berhasil menguasai pikiran, keyakinan dan jiwa bangsa-bangsa, berdasarkan Alqur’an. Yang disetiap hurufnya telah menjadi hukum.
Jadi, islam bukan sekedar system keagamaan tetapi Alqur’an merupakan pedoman untuk mencapai akhirat dan hidup didunia juga pedoman hidup keduniawian. Islam menolak paham sekuler yang memisahkan antara agama dengan keduniawian. Nabi Muhammad saw. telah memberikan pedoman sebagai pelengkap Alqur’an, yaitu hadist-hadist yang shahih.

PEMERINTAHAN DAN ILMU HUKUM
Pada pelajaran Undang-Undang Dasar 1945 tentang Sistem Pemerintahan Indonesia, dijelaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Disini terlihat bahwa kata hukum dijadikan lawan kata kekuasaan.
Kekuasaan adalah kemampuan menggerakkan kekuatan fisik dan mengorganisasikan banyak orang atas dasar suatu system sanksi. Jadi, yang dimaksud dengan kekuasaan adalah otoriter pemimpin, kesewenangan,dan kekuatan paksaan (coersive power). Kekuasaan dalam organisasi terbesar (negara) dimiliki oleh pemerintah (pengusaha negara), sehingga jelaslah hubungan antara kekuasaan (yang dimiliki pemerintahan yang berkuasa) dengan hukum. Hukum adalah aturan (tingkah laku) yang ada pada hakikatnya membicarakan persamaan hak dan kewajiban manusia. Pengertian perkataan berdasarkan hukum berarti seseorang tidak dapat seenaknya atau sewenang-wenang dalam melakukan sesuatu tindakan.



BENTUK NEGARA
a. Negara Kerajaan
Kita tidak dapat memandang rendah bentuk Negara kerajaan ini dikarenakan kepala negaranya hanya dianggap sebagai symbol, sebagai contoh Kerajaan Inggris. Negara ini begitu maju dan kokoh, karena ratu bagi mereka merupakan lambang persatuan dan kesatuan bangsanya, yang harus dihormati seperti kita membanggakan falsafah pancasila. Apabila Negara republic menyatakan dirinya demokrasi maka Negara kerajaan pun tak kalah demokrasinya (baik kabinet maupun parlemen di Inggris dikuasai oleh partai yang berkuasa).
b. Negara Republik
Negara republic dapat dibedakan dalam dua bagian, yaitu serikat dan kesatuan. Sebenarnya Negara kerajaan pun dapat kita bedakan seperti ini, karena kita lihat bahwa Kerajaan Inggris adalah suatu Negara kerajaan yang berbentuk kesatuan (united kingdom). Perbedaan ini tergantung pada besar kecilnya sentralisasi atau desentralisasi yang diberikan suatu Negara dalam pemerintahannya.
Seperti juga dengan negara kerajaan, Negara republic pun dapat memiliki perdana mentri (PM). Presiden yang terpilih merupakan symbol (misalnya India, Singapura, dll). Oleh karena itu, Republik Indonesia dan Prancis memberikan posisi dominant kepada presiden, presiden tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen.
Disamping itu, dikenal pula bentuk kenegaraan seperti Negara protektorat (negara yang berada dibawah perlindungan negara lain), negara uni (gabungan beberapa negara merdeka), dan negara dominion (negara yang telah dimerdekakan Inggris tetapi tetap mengakui Ratu Inggris sebagai rajanya).

Sistem Pemerintahan
Di Indonesia dikenal pembagian kekuasaan (distribution of power) atau disebut juga division of power karena antar lembaga kekuasaan tidak terdapat pemisahan yang drastis. Sebagai contoh, presiden dapat memegang kekuasaan kehakiman, seperti pemberian grasi, amnesty, abolisi, dan rehabilitasi serta mengajukan RUU kepada DPR (legislative).
Untuk lebih jauh melihat perbedaan system pemerintahan, adalah mengetahui tolak ukur tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat yang diurusnya.
a. System Pemerintahan Parlementer
Dalam sistem ini dilakukan pengawasan terhadap eksekutif olek legislative. Jadi kekuasaan parlemen yang besar dimaksudkan untuk memberikan kesejahteraan yang lebih besar kepada rakyat maka pengawasan atas jalannya pemerintahan dilakukan oleh wakil rakyat yang duduk dalam parlemen.
Sistem pemerintahan yang dapat dijadikan model untuk sitem pemerintahan parlementer ini adalah Kerajaan Inggris.
Menurut system pemerintahan parlementer adalah sebagai berikut :
1. Berdasarkan atas prinsip pembagian kekuasaan.
2. Terjadi tanggung jawab antara eksekutif dan legislative. Pihak eksekutif boleh membubarkan parlementer (legislatif) atau dia sendiri yang mesti meletakkan jabatan bersama-sama kabinetnya, disaat kebijaksaannya tidak lagi dapat diterima oleh kebanyakan suara para anggota parlemen.
3. terjadi pertanggung jawaban bersama (timbale balik) antara PM dan kabinetnya.
4. Eksekutif (baik PM maupun menteri-menterinya) terpilih sebagai kepala pemerintahan sesuai dengan dukungan sesuai dengan dukungan mayoritas parlemen.

b. System Pemerintahan Presidensial
Dalam system ini, presiden memilikikekuasaan yang kuat, sebagai kepala Negara juga sebagai kepala pemerintahan yang mengetahui cabinet (dewan menteri-menteri). Untuk tidak menjuruskan kearah diktatorisme maka diperlukan check dan balances antara lembaga tinggi negara, inilah yang disebut checking power with power.
System pemerintahan yang dijadikan model untuk system pemerintahan presidensial ini adalah Amerika Serikat.
Menurut system pemerintahan presidensial ini, adalah sebagai berikut:
1. berdasarkan atas prinsip-prinsip pemisahan kekuasaan
2. Eksekutif tidak mempunyai kekuasaan untuk membubarkan parlemen dan juga tidak mesti berhenti sewaktu kehilangan dukungan dari mayoritas anggota parlemen.
3. Tidak ada tanggung jawab yang beralasan antara presiden dan kabinetnya, karena akhirnya seluruh tanggung jawab sama sekali tertuju pada presiden (sebagai kepala pemerintahan).
4. Presiden dipilih langsung oleh para pemilih.

c. System Pemerintahan Campuran
Dalam system ini diusahakan mencari hal-hal yang terbaik dari system parlementer dan presidensial. System ini terbentuk dari mempelajari sejarah perjalanan pemerintahan suatu Negara.
Ada dua model system pemerintahan campuran, yaitu model Prancis kemudian Indonesia.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa :
1. Alangkah mengagumkan petunjuk Alqur’an terhadap ilmu pemerintahan. Pemerintahan sebagai suatu ilmu (science) dan seni (art) memiliki objek dan metode tersendiri yakni bagaimana cara mengatur, memerintah dan menguasai orang, serta menjadikan titik persoalannya adalah perebutan kekuasaan. Hanya ada satu imbangan dalam hal ini dengan menyadari sepenuhnya bahwa kekuasaan tidak akan kekal ditangan manusia tetapi kekal pada Allah.
2. Apa yang dilaksanakan diberbagai negara dalam pemerintahannya bersesuaian dengan apa yang diatur dalam Alquran, baik secara langsung (bagi negara-negara Islam) ataupun tidak langsung (bago negara-negara non Islam).
3. Berpikir secara relegius oleh sebagian pihak dianggap terlalu idealis. Akan tetapi kenyataannya dimana pun tujuan negara adalah untuk mewujudkan kemakmuran atau kesejahteraan (welfare) bagi rakyatnya, terlepas dari hakikat permainan politik (power play) suatu negara. Dengan demikian mengapa tidak memiliki Alquran sebagai satu-satunya Kitap suci yang tidak tertandingi isinya.

1. Nabi Muhammad saw. sebagai Nabi dan Rasul terakhir merupakan suri tauladan umat manusia sedunia termasuk untuk persoalan pemerintahan. Beliau sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang berhasil meletakkan sendi kenegaraan yang diridhai Allah SWT. Beliau memepersatukan kabilah-kabilah Arab, menerima dan mengirim duta, serta membuat perjanjian.
2. beberapa pendapat mengatakan bahwa datangnya kerajaan Allah sebagaimana dalam doa Rasullullah saw. dan Khulafur Rasyid. Bagaimana seorang perempuan cantik yang membawa barang berharga serta perhiasan yang banyak, tanpa mengalami perampokan dan perkosaan, kendati ia berjalan cukup jauh. Inilah mental masyarakat dan keamanan yang diciptakan oleh pemerintah kala itu. Begitu pula pada waktu masa pemerintah Khalifah Umar Ibn Al – Khattab ra. Beliau mencoba bertanya kepada seorang pengembala kambing akan keinginannya menjual kambing milik majikannya, mengatakan bahwa pengembala itu lebih takut kepada Allah dari pada kepada sesame manusia.
3. Pemerintahan Islam setelah para Khulafaur Rasyidin, walaupun diwarnai kemajuan dan pembangunan peradaban Islam namun kemurnian Islam mulai mundur, karena mereka tidak seratus persen menjalankan konsep keislaman. Sebagaimana yang difirmankan Allah dalam Alquran dan disabdakan Nabi Muhammad saw :
……. Masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya ……
Surat Al – Baqarah (2) ayat 208



Setelah berakhirnya system kekhalifahan di turki (1924), dunia islam mulai ramai membicarakan konsep Negara islam. Selama masa penjajahan Barat atas dunia Islam, kaum muslimin tidak sempat dan juga tidak mampu berpikir tentang ajaran agama mereka secara jelas, komprehensif dan tuntas mengenai berbagai masalah.
Untuk kurun waktu yang cukup lama, kaum muslimin secara sengaja dipisahkan dari ajaran-ajaran Islam oleh penjajah Barat, dan dalam proses aliensi masyarakat islam dari agamanya itu, kolonialisme dan imprealisme Barat melakukan proses peracunan barat (westoxication) atas dunia islam.
Secara intelektual kaum muslimin sangat lemah, dan karenanya tidak mampu melakukan diaolog yang seimbang dengan barat. Impotensi intelektual ini secara langsung atau tidak disebabkan juga oleh hubungan kekuasaan yang amat senjang antara Barat dan Dunia islam. Kesenjangan ini berdampak negative terhadap perkembangan atau pertumbuhan intelektual masyarakat islam.
Persepsi dan Komunikasi Organisasi
PERSEPSI DAN KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI


A. PESEPSI
1. Pengertian Persepsi
Persepsi diartikan sebagai tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu; proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui penginderaannya. Persepsi adalah proses dari seseorang dalam memahami lingkungannya yang melibatkan pengorganisasian dan penafsiran sebagai rangsangan dalam suatu pengalaman psikologi. Kunci untuk memahami persepsi adalah terletak pada pengenalan bahwa persepsi merupakan penafsiran yang unik terhadap situasi dan bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap situasi.
Berikut ini beberapa pengertian persepsi menurut para ahli yaitu:
a) Brian Fellows, Persepsi adalah proses yang memungkinkan suatu organisme menerima dan menganalisis informasi
b) Kenneth A. Sereno dan Edward M. Bodaken, Persepsi adalah sarana yang memungkinkan kita memperoleh kesadaran akan sekeliling dan lingkungan kita.
c) Philip Goodaracre dan Jennifer Follers, Persepsi adalah proses mental yang digunakan untuk mengenali rangsangan.
d) Joseph A. Devito, Persepsi adalah proses dengan makna kita menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi indera kita.

Hammer dan Organ berpendapat mengenai persepsi yaitu, Manusia dalam mengorganisasikan, menafsirkan, dan memberi arti kepada suatu rangsangan selalu menggunakan inderanya, yaitu melalui proses mendengar, melihat, merasa, meraba, dan mencium, yang dapat terjadi terpisah-pisah atau serentak. Intensitas dan tingkat penggunaan indera akan mempengaruhi pula tingkat kepekaan seseorang dan ini kemudian turut mempengaruhi persepsi, dan pemecahan masalah dari seseorang.
Selain itu terdapat pula unsur lainnya, seperti yang di kemukakan oleh Combs cs mengemukakan sebagai berikut: Setiap kali seseorang dihadapkan pada suatu rangsangan yang sudah biasa ia hadapi, maka ia akan langsung mengumpulkan informasi (dari pengalamannya) dan membandingkannya dengan rangsangan yang ia hadapi sekarang. Bagaimana ia memberi arti terhadap rangsangan tersebut tergantung kepada keperibadian dan aspirasi yang bersangkutan.
Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli). Hubungan sensasi dengan persepsi sudah jelas. Sensasi adalah bagian dari persepsi. Walupun begitu, menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, ekspektasi, motivasi, dan memori (Desiderato).
Persepsi pada hakekatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang didalam memahami informasi tentang lingkungannya, lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman. Persepsi adalah suatu proses kognitif yang kompleks dan yang menghasilkan suatu gambar unik tentang kenyataan yang barangkali sangat berbeda dari kenyataannya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa persepsi sangat bersifat pribadi dan usaha sungguh-sungguh memahami persepsi orang merupakan bagian penting dari studi perilaku organisasi. Dalam kehidupan berorganisasi, sering sekali kita dihadapkan pada perbedaan interpretasi yang menyebabkan perbedaan pilihan tindakan dan perilaku terhadap suatu obyek yang sama.



2. Beberapa Hal Mengenai Persepsi
1) Proes Masukan (input process)
Proses persepsi di mulai dari tahap penerimaan rangsangan, yang ditentukan oleh faktor luar maupun oleh faktor di dalam manusianya itu sendiri, yang dapat dikategorikan atas lima hal, yaitu:
a) Faktor Lingkungan, yang secara sempit hanya menyangkut warna, bunyi, sinar, dan secara luas dapat menyangkut faktor ekonomi, sosial, dan politik. Semua unsur faktor ini mempengaruhi seseorang dalam menerima dan menafsirkan suatu rangsangan.
b) Faktor Konsepsi, yaitu pendapat dan teori seseorang tentang manusia dengan segala tindakannya. Seseorang yang mempunyai konsepsi, pendapat, dan teori bahwa manusia pada dasarnya baik, cenderung menerima semua rangsangan sebagai sesuatu yang baik atau paling tidak sebagai sesuatu yang bermanfaat.
c) Faktor yang berkaitan dengan konsep seseorang tentang dirinya sendiri. Seseorang mungkin saja beranggapan bahwa dirinyalah yang terbaik, sedangkan orang lain selalu kurang baik dari dirinya sendiri.
d) Faktor yang berhubungan dengan motif dan tujuan, yang pokoknya berkaitan dengan dorongan dan tujuan seseorang dan untuk menafsirkan suatu rangsangan.
e) Faktor pengalaman masa lampau.

2) Selektivitas
Manusia tidak mampu memproses seluruh rangsangan dan ia cenderung memberikan perhatian pada rangsangan tertentu saja. Beberapa hal yang dapat mempengaruhi proses seleksi ini adalah sebagai berikut:
a) Kekhususan (distinctiveness); misalnya, seorang wanita yang berada dalam lingkungan laki-laki akan mudah sekali diingat.
b) Berfrekuensi tinggi; sesuatu yang sering kita lihat, kita dengar dan sebagainya akan lebih mudah kita kenal dan ingat di banding dengan sesuatu yang jarang kita dilihat.
c) Berintensitas tinggi; misalnya, suara orang yang berteriak lebih besar kemungkinan terdengar dari pada suara orang yang berbicara normal.
d) Pergerakan dan Perubahan; sesuatu yang bergerak dan berubah lebih banyak menarik perhatian dari sesuatu yang diam dan tidak berubah.
e) Jumlah; makin banyak jumlah yang harus diterima seseorang, makin besar pula tingkat selektivitasnya.
f) Ketidakpastian; berita kenaikan gaji pegawai yang belum diketahui berapa besarnya cenderung lebih menarik perhatian daripada yang sudah tersiar berapa kenaikannya.
g) Sesuatu yang baru dan tidak lazim, cenderung lebih menarik perhatian daripada yang sudah biasa.
3) Proses Penutupan (closure)
Proses untuk melengkapi atau menutupi jurang informasi yang ada, disebut proses penutupan. Kecenderungan seseorang merasa sudah mengetahui keseluruhan, merupakan suatu hal yang penting dalam proses persepsual, karena hal tersebut dapat dipergunakan untuk memperkirakan hasil akhir proses persepsual. Perilaku yang demikian disebut stereotyping. Walaupun stereotyping ini memegang peranan penting dalam proses persepsual, tetapi harus pula disadari bahwa hasilnya sering tidak tepat.

4) Konteks
Isi kesatuan atau konteks ini dapat berupa faktor lingkungan fisis, seperti sinar, suara, dan sebagainya, juga dapat berupa konteks emosional dan lingkungan sosial. Perasaan sedaerah, sesuku dan seagama atau segolongan politik dapat saja mempengaruhi persepsi seseorang terhadap orang yang lainnya.

Beberapa pendapat Zalkind dan Costello yang mengatakan:
a) Manusia dipengaruhi oleh rangsangan-rangsangan yang secara tidak sadar ia amati.
b) Bila faktor-faktor yang tidak nyata dijadikan bahan pertimbangan, maka rangsangan-rangsangan yang tidak relevan dapat mempengaruhi perilaku seseorang.
c) Emosi dapat mempengaruhi persepsi dan perilaku seseorang.
d) Manusia sering menilai pentingnya suatu rangsangan berdasarkan atas faktor-faktor personal.

Subproses dalam persepsi dapat membuktikan bahwa persepsi itu merupakan hal yang kompleks dan interaktif. Subproses pertama yaitu stimulus atau situasi yang hadir. Terjadinya persepsi jika seseorang dihadapkan dengan sesuatu stimulus atau situasi. Subproses kedua adalah registrasi, interpretasi dan umpan balik. Registrasi dalam hal ini seseorang mendengar atau melihat informasi terkirim kepadanya, didaftarnya semua informasi itu kemudian subproses interpretasi ini tergantung pada pendalaman (learning), motivasi, dan kepribadian seseorang adalah berbeda. Pada informasi yang sama, setiap orang mempunyai interpretasi yang berbeda ini akan menimbulkan persepsi yang berbeda pula. Kemudian umpan balik seorang bawahan yang melaporkan pekerjaannya akan mendapat umpan balik dengan melihat tanggapan dari atasannya tersebut setiap orang berbeda dalam menanggapi umpan balik tersebut.

3. Faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengembangan persepsi seseorang, yaitu:
a) Psikologi. Persepsi seseorang mengenai segala sesuatu yang terjadi di alam dunia ini sangat di pengaruhi oleh keadaan psikologi.
b) Famili. Pengaruh yang besar terhadap anak-anak adalah familinya, orangtua yang telah mengembangkan suatu cara yang khusus di dalam memahami dan melihat kenyataan di dunia ini.
c) Kebudayaan. Kebudayaan dan lingkungan masyarakat tertentu juga merupakan salah satu faktor yang kuat di dalam mempengaruhi sikap nilai dan cara seseorang memandang dan memahami keadaan di dunia ini.

Faktor-faktor dari luar yang mempengaruhi proses seleksi persepsi antara lain:
a) Intensitas. Semakin besar intensitas stimulus dari luar, semakin besar juga hal itu dapat dipahami.
b) Ukuran. Semakin besar ukuran suatu objek semakin mudah untuk diketahui.
c) Berlawanan atau Kontras. Prinsip berlawana dengan sekelilingnya ini akan menarik banyak perhatian.
d) Pengulangan. Stimulus dari luar yang diulang akan memberikan perhatian yang lebih besar dari pada yang sekali dilihat atau di dengar.
e) Gerakan. Orang akan memberikan banyak perhatian kepada benda yang bergerak.
Faktor-faktor dari dalam yang mempengaruhi persepsi adalah belajar dan persepsi, motivasi dan persepsi, keperibadian dan persepsi. Jika informasi berasal dari suatu situasi yang telah diketahui oleh seseorang, informasi yang datang tersebut akan mempengaruhi cara seseorang mengorganisasikan persepsinya. Pengorganisasian persepsi itu meliputi tiga hal, yaitu :
a) Kesamaan dan Ketidaksamaan. Suatu objek yang mempunyai ciri yang sama dipersepsi ada hubungannya, sedangkan suatu objek yang mempunyai ciri yang tidak sama adalah terpisah.
b) Kedekatan dalam Ruang. Objek atau peristiwa yang dilihat oleh orang karena adanya kedekatan dalam ruang tertentu, akan dengan mudah diartikan sebagai objek atau peristiwa yang ada hubungannya.
c) Kedekatan dalam Waktu. Objek atau peristiwa juga dilihat sebagai hal yang mempunyai hubungan karena adanya kedekatan atau kesamaan dalam waktu.

Proses persepsi sosial akan melibatkan orang yang melihat atau menilai (perceiver) dan yang dilihat atau dinilai (perceived), kedua belah pihak ini mempunyai karakter masing-masing.
Karakter orang yang menilai: (1) mengetahui diri sendiri itu akan memudahkan melihat orang lain secara tepat, (2) karakteristik diri sendiri sepertinya dapat mempengaruhi ketika melihat karakteristik orang lain, (3) aspek-aspek yang menyenangkan bagi orang lain sepertinya mampu dilihat orang-orang yang merasa dirinya berlebihan, (4) ketepatan menilai orang lain itu tidaklah merupakan kecakapan tunggal.
Karakter orang yang dilihat atau dinilai dalam proses persepsi social: (1) status orang yang dinilai akan mempunyai pengaruh yang besar bagi persepsi orang yang menilai, (2) orang yang dinilai biasanya ditempatkan dalam kategori-kategori tertentu, (3) sifat perangai orang-orang yang dinilai akan memberikan pengaruh yang besar terhadap persepsi orang lain pada dirinya.

B. KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI
1. Beberapa Hal Mengenai Komunikasi
Komunikasi adalah pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan dimaksud dapat dipahami. Delapan unsur pokok di dalam proses komunikasi yaitu sebagi berikut:
a) Pengiriman/Sumber adalah orang yang mempunyai ide untuk mengadakan komunikasi.
b) Encoding adalah menterjemahkan informasi menjadi serangkaian simbol untuk komunikasi.
c) Message (pesan) adalah informasi yang sudah disandikan dikirimkan oleh pengirim kepada penerima.
d) Channel (saluran) adalah media komunikasi formal antara seorang pengrim dan seorang penerima.
e) Receiver (penerima) adalah individu yang menanggapi pesa dari pengirim.
f) Decoding (pengartian) adalah interpretasi suatu pesan menjadi informasi yang berarti.
g) Noise (gangguan) adalah faktor yang menimbulkan gangguan, kebingungan terhadap komunikasi.
h) Umpan balik adalah balikan dari proses komunikasi sebagai suatu reaksi terhadap informasi yang disampaikan oleh pegirim.

2. Persepsi Mengenai Komunikasi Organisasi
Persepsi mengenai komunikasi organisasi perlu diketahui sebagai dasar untuk memahami apa yang dimaksud dengan komunikasi organisasi.
a) Persepsi Redding dan Sanborn. Komunikasi organisasi adalah pengiriman dan penerimaan informasi dalam organisasi yang kompleks. Yang termasuk bidang ini adalah Komunikasi internal, hubungan manusia, hubungan persatuan pengelola, komunikasi downward (komunikasi dari atasan kepada bawahan), komunikasi upward (komunikasi dari bawahan kepada atasan), komunikasi horizontal (komunikasi dari orang-orang yang sama tingkatnya dalam organisasi), keterampilan berkomunikasi dan berbicara, mendengarkan, menulis dan evaluasi program.
b) Persepsi Katz dan Kahn. Komunikasi organisasi merupakan arus informasi, pertukaran informasi dan pemindahan arti di dalam organisasi.
c) Persepsi Zelko dan Dance. Komunikasi organisasi adalah suatu sistem yang saling tergantung yang mencakup komunikasi internal dan komunikasi eksternal.
d) Persepsi Thayer. Dia memperkenalkan tiga sistem komunikasi dalam organisasi yaitu : Berkenaan dengan kerja organisasi seperti data mengenai tugas-tugas atau beroperasinya organisasi; berkenaan dengan pengaturan organisasi seperti perintah, aturan dan petunjuk; berkenaan dengan pemeliharaan dan pengembangan organisasi (hubungan dengan personal dan masyarakat, pembuat iklan dan latihan).
e) Persepsi Greenbaunm. Bidang komunikasi organisasi termasuk arus komunikasi formal dan informal dalam organisasi. Dia membedakan komunikasi internal dengan eksternal dan memandang peranan komunikasi terutama sebagai koordinasi pribadi dan tujuan organisasi serta masalah menggiatkan aktivitas.

Meskipun bermacam-macam persepsi dari para ahli mengenai komunikasi organisasi, tapi ada beberapa hal yang dapat disimpulkan :
1) Komunikasi organisasi terjadi dalam suatu sistem terbuka yang kompleks yang dipengaruhi oleh lingkungannya sendiri baik internal maupun eksternal.
2) Komunikasi organisasi meliputi pesan dan arusnya, tujuan, arah dan media.
3) Komunikasi organisasi meliputi orang dan sikapnya, perasaannya, hubungannya dan keterampilannya.

3. Definisi dan Konsep Kunci Komunikasi Organisasi
Goldhaber memberikan defenisi mengenai komunikasi organisasi yaitu proses menciptakan dan saling menukar pesan dalam satu jaringan hubungan yang saling tergantung satu sama lain untuk mengatasi lingkungan yang tidak pasti atau yang selalu berubah-ubah. Definisi ini mengandung tujuh konsep kunci yaitu:
a) Proses. Suatu organisasi adalah suatu sistem terbuka yang dinamis yang menciptakan dan saling menukar pesan diantara anggotanya. Karena gejala menciptakan dan menukar informasi ini berjalan terus menerus tanpa henti maka dikatakan sebagai suatu proses.
b) Pesan. Adalah susunan simbol yang penuh arti tentang orang, obyek, kejadian yang dihasilkan oleh interaksi dengan orang lain. Dalam komunikasi organisasi kita mempelajari pertukaran pesan dalam seluruh organisasi. Pesan dalam organisasi ini dapat dilihat menurut beberapa klasifikasi yang berhubungan dengan: (1) bahasa (verbal dan non-verbal), (2) penerima (internal dan eksternal), (3) metode difusi (bagaimana pesan disebarluaskan), (4) arus tujuan dari pesan (berkenaan dengan tugas-tugas dalam organisasi).
c) Jaringan. Organisasi terdiri dari satu seri orang yang masing-masing menduduki posisi atau peranan tertentu dalam organisasi. Pertukaran pesan dari orang-orang tersebut melewati suatu set jalan kecil yang dinamakan jaringan komunikasi. Hakikat dan luas jaringan ini dipengaruhi oleh faktor-faktor yang masing-masing mempengaruhi jaringan komunikasi yaitu: (1) hubungan peranan (formal dan informal), (2) arah dan arus pesan (komunikasi kepada atasan, komunikasi kepada bawahan dan komunikasi horizontal), (3) isi dari pesan.
d) Keadaan Saling Tergantung. Keadaan saling tergantung antara satu bagaian dengan bagian lainnya telah menjadi sifat dari suatu organisasi yang merupakan suatu sistem terbuka. Bila suatu bagian dari organisasi mengalami gangguan maka akan berpengaruh pada bagaian lainnya dan mungkin juga pada seluruh sistem organisasi.
e) Lingkungan. Adalah semua totalitas secara fisik dan faktor sosial yang diperhitungkan dalam pembuatan keputusan mengenai individu dalam suatu sistem. Lingkungan ini dapat dibedakan: (1) Lingkungan internal (karyawan, golongan fungsional dari organisasi, komponen organisasi lainnya seperti tujuan, produk/jasa dsb), (2) Lingkungan eksternal ( pelanggan, kompetitor, teknologi, dsb).
f) Ketidakpastian. Adalah perbedaan informasi yang tersedia dengan informasi yang diharapkan. Untuk mengurangi ketidakpastian ini organisasi menciptakan dan menukar pesan di antara anggota, penelitian, pengembangan organisasi dan menghadapi tugas-tugas yang kompleks dengan integritas yang tinggi.

4. Pendekatan Komunikasi Organisasi
Untuk melihat komunikasi yang terjadi dalam suatu organisasi dapat digunakan tiga pendekatan, yaitu :
a) Pendekatan Makro. Dalam pendekatan makro organisasi dipandang sebagai suatu struktur global yang berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam berinteraksi, organisasi melakukan aktivitas tertentu seperti: Memproses informasi dan lingkungan, Mengadakan identifikasi, Melakukan intergrasi dengan organisasi lain, dan Menentukan tujuan organisasi.
b) Pendekatan Mikro. Pendekatan ini terutama menfokuskan kepada komunikasi dalam unit dan sub-unit pada suatu organisasi. Komunikasi yang diperlukan pada tingkat ini adalah komunikasi antara anggota kelompok seperti: Komunikasi untuk pemberian orientasi dan latihan, Komunikasi untuk melibatkan anggota kelompok dalam tugas kelompok, Komunikasi untuk menjaga iklim organisasi, Komunikasi dalam mensupervisi dan pengarahan pekerjaan, dan Komunikasi untuk mengetahui rasa kepuasan kerja dalam organisasi.
c) Pendekatan individual. Berpusat pada tingkahlaku komunikasi individual dalam organisasi. Semua tugas-tugas yang telah diuraikan pada dua pendekatan sebelumnya diselesaikan oleh komunikasi individual satu sama lainnya. Ada beberapa bentuk komunikasi individual : Berbicara pada kelompok kerja, Menghadiri dan berinteraksi dalam rapat-rapat, Menulis dan mengonsep surat, serta Berdebat untuk suatu usulan.

  • ShoutMix chat widget
    [Clos]

    Jumlah Pengunjung

    Locations of visitors to this page


    free counters