Etika Komunikasi
A. ETIKA DALAM KOMUNIKASI MASSA
1. Pengertian Etika
Kata “etika” berasal dari Bahasa Yunani Kuno yaitu ethos, yang dalam bentuk jamak berubah menjadi ta etha,yang berarti adat istiadat. Arti inilah yang menjadi latar belakang bagi terbentuknya studi mengenai etika yang diawali oleh Aristoteles (384-322 SM). Sehingga jika kita mengartikan etika hanya dari sisi etimologis, maka defennisi yang mencuat atas kata “etika” adalah ilmu tentang adat kebiasaan.
Kata yang berdekatan dengan kata “etika” adalah kata “moral” yang juga berasal dari bahasa yunani kuno yaitu mos yang dalam bentuk jamak berubah bunyi menjadi mores. Arti dari kata ini adalah kebiasaan, adapt. Wajar jika kedua kata ini berdampingan dalam penggunaannya, karena memang secara etimologis keduanya memiliki makna yang serupa.
Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan tentang azaz-azaz akhlak (moral) atau etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral atau akhlak. Dari pengertian kebahsaan ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah laku manusia.
Adapun arti etika dari segi istilah, telah dikemukakan para ahli dengan ungkapan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya. Menurut ahmad amin mengartikan etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.
Berikutnya, dalam encyclopedia Britanica, etika dinyatakan sebagai filsafat moral, yaitu studi yang sitematik mengenai sifat dasar dari konsep-konsep nilai baik, buruk, harus, benar, salah, dan sebagainya.
Dari definisi etika tersebut diatas, dapat segera diketahui bahwa etika berhubungan dengan empat hal sebagai berikut. Pertama, dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Kedua dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Sebagai hasil pemikiran, maka etika tidak bersifat mutlak, absolute dan tidak pula universal. Ia terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan, kelebihan dan sebagainya. Selain itu, etika juga memanfaatkan berbagai ilmu yang memebahas perilaku manusia seperti ilmu antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan sebagainya. Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan sebagainya. Dengan demikian etika lebih berperan sebagai konseptor terhadap sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Etika lebih mengacu kepada pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Keempat, dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relative yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman.
Etika adalah cabang dari aksiologi, yaitu ilmu tentang nilai, yang menitikberatkan pada pencarian salah dan benar atau dalam pengertian lain tentang moral dan immoral. Etika dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :
1. Etika sebagai ilmu, yang merupakan kumpulan tentang kebajikan, tentang penilaina dari perbuatan seseorang.
2. Etika dalam arti perbuatan, yaitu perbuatan kebajikan, Misalnya seseorang dikatakan etis apabila orang itu telah berbuat kebajikan.
3. Etika sebagai filsafat, yang mempelajari pandangan-pandangan, persoalan-persoalan yang berhubungan dengan masalah kesusilaan.

Dengan ciri-cirinya yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatan baik atau buruk. Berbagai pemikiran yang dikemukakan para filosof barat mengenai perbuatan baik atau buruk dapat dikelompokkan kepada pemikiran etika, karena berasal dari hasil berfikir. Dengan demikian etika sifatnya humanistis dan antroposentris yakni bersifat pada pemikiran manusia dan diarahkan pada manusia. Dengan kata lain etika adalah aturan atau pola tingkah laku yang dihasulkan oleh akal manusia.
Tugas etika, tidak lain berusaha untuk mengetahui hal yang baik dan yang dikatakan buruk. Sedangkan tujuan etika, adalah agar setiap manusia mengetahui dan menjalankan perilaku, sebab perilaku yang baik itu bukan saja penting bagi dirinya saja, tapi juga penting bagi orang lain, bagi masyarakat, bagi bangsa dan Negara, dan yang terpenting bagi Allah swt.
Setelah menjelajahi etimologi kata “etika”, mari kita berusaha menyingkap arti etika secara lebih konprehensif.
 Pertama, secara konprehensif kata “etika” dapat dimaknai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan moral bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
 Kedua, “etika” juga dapat diartikan sebagai kumpulan asas atau nilai moral, yang sering disebut sebagai kode etik, seperti kode etik periklanan yang Indonesia yang dikeluarkan oleh Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia, kode etik jurnalistik yang berasal dari berbagai organisasi jurnalis, kode etik kehumasan, kode etik penyiaran dan sebagainya.
 Ketiga, kata “etika” dapat berarti pula sebagai ilmu yang mempelajari mengenai hal yang baik dan buruk dalam masyarakat.

2. Sistematika Etika
Secara umum, menurut A. Sonny Kreaf (1993: 41), etika dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, Etika Umum yang membahas kondisi dasar bagaimana manusia bertindak etis, dalam mengambil keputusan etis, dan teori etika serta mengacu pada prinsip moral dasar yang menjadi pegangan dalam bertindak dan tolok ukur atau pedoman untuk menilai baik atau buruknya suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang.
Kedua, Etika Khusus yaitu penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang khusus, yaitu bagaimana mengambil keputusan dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari pada proses dan fungsional dari suatu organisasi. Etika khusus dibagi menjadi dua bagian yaitu, Etika individual menyangkut kewajiban dan perilaku manusia terhadap dirinya sendiri. Etika sosial berbicara mengenai kewajiban, sikap, dan perilaku sebagai anggota masyarakat yang berkaitan dengan nilai-nilai sopan santun, tata karma dan saling menghormati.
Kata yang sering dianggap serupa maknanya dengan kata “etika” adalah kata “etiket”. Mungkin karena intonasinya yang serupa kemudian keduanya dengan mudahnya dipercampuradukkan, padahal keduanya memilliki makna yang berbeda. Etika disini dipahami sebagai moral, sedangkan etiket hanya dikaitkan dengan sopan santun.
Perbedaan diantara keduanya dapat oleh K.Bertens digambarkan sebagai berikut :
No Etiket Etika
1 Menyangkut cara sesuatu
yang dilakukan oleh
manusia. Etika tidak terbatas pada cara dilakukannya suatu perbuatan, namun etika juga mencakup pemberian norma terhadap perbuatan itu sendiri
2 Etiket hanya berlaku dipergaulan, jika tidak ada orang yang menjadi saksi maka etikat tidak berlaku. Etika berlaku tidak tergantung pada hadir tidaknya orang.
3 Etiket bersifat relatif. Etika bersifat jauh lebih absolute dibanding etiket
4 Etiket hanya memandang manusia dari sisi lahiriah semata. Etika menyangkut sisi lahir maupun batin manusia.
5 Etiket menetapkan cara untuk melakukan perbuatan benar sesuai dengan yang diharapkan. Etika adalah niat, apakah perbuatan itu boleh dilakukan atau tidak sesuai dengan akibatnya.
6 Etiket adalah formalitas (lahiriah), tampak dari sikap luarnya penuh dengan sopan santun dan kebaikan. Etika adalah nurani (batiniah), bagaimana harus bersikap etis dan baik yang timbul dari kesadaran dirinya.




3. Macam-macam Etika
a. Etika Deskriptif
Etika deskriptif sebagai sebuah pendekatan dalam etika berusaha melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, seperti adapt kebiasaan, anggapan-anggapan tentang mana yang baik dan mana yang buruk, tindakan apa yang diperbolehkan dan tindakan yang dilarang. Etika deskriptif lebih menekankan pada usaha untuk mempelajari mengenai moralitas yang terdapat dalam individu-individu tertentu, dalam kebudayaan-kebudayaan serta subkultur-subkultur (subcultures) tertentu dalam periode sejaran tertentu pula.sesuai kata “deskritif” yang melekat pada istilah etika deskriptif, maka pendekatan pada bidang etika ini hanya memberi gambaran atau melukiskan semata tanpa memberi penilaian. Misalnya, etika deskriptif yang menggambarkan mengenai adapt mengayau kepala manusia pada masyarakat yang ada disuku-suku pedalaman, tanpa memberi penilaian apakah adat seperti itu harus diterima atau ditolak.

b. Etika Normatif
Etika normatif bukan sekedar menggambarkan norma-norma dimasyarakat namun juga memberi penilaian mengenai baik atau tidaknya norma tersebut. Sehingga bisa kita simpulkan bahwa etika normatif menanggalkan sikap netral yang dianut oleh sikap etika deskriptif. Lebih jauh etika normatif bukan lagi deskptif melainkan preskriptif (memerintahkan) dan menentukan baik atau tidaknya adat, nilai, norma, dan perilaku. Etika normatif terbagi dalam dua ranah kajian yaitu etika umum dan etika khusus. Etika umum mengkaji tema-tema umum dalam etika seperti: apa itu noma etis ? jika banyak norma etis, bagaimana relasinya dengan kita sebagai manusia ?.sedangkan etika khusus lebih mengkaji tema yang berhubungan dengan penerapan prinsip-prinsip etis yang umum dengan perilaku manusia. Dengan redaksional yang lain, dalam etika khusus itu prinsip normatif dikaitkan dengan premis faktual untuk sampai pada kesimpulan etis yang bersifat normatif juga.

c. Metaetika
Kata “meta”dalam bahasa Yunani berarti melebihi atau melampaui. Terminologi disini bukanlah moralitas secara langsung, melainkan ucapan-ucapan kita dibidang moralitas. Metaetika sendiri oleh para filsuf dimasukkan dalam filsafat analitis, suatu aliran yang penting dalam filsafat yang berkembang pesat diabad 20 M dengan dipelopori oleh George Moore, seorang filsuf dari Inggris (Bertens, 2005:19). Jika etika normatif hanya mempelajari mengenai perilaku moral dan memberi penilaian, maka metaetika lebih menekankan pada refleksi mengenai terminologi dan bahasa yang kita gunakan saat beragumentasi.
Etika didefenisikan sebagai studi tentang sifat umum moral dan pilihan-pilihan moral spesifik yang harus dibuat seseorang. Etika menyangkut pilihan-pilihan komunikasi sehingga, dengan memeriksa dan lebih menyadari nilai-nilai kita sendiri, kita lebih bertanggung jawab atas konsekuensi tindakan kita.
Kita semua munkin telah menjadi korban perilaku rindakan etis. Meskipun demikian, kita agaknya lebih peka ketika kita menjadi sasaran komunikasi tidak etis daripada ketika kita menjadi pelakunya. Kadang-kadang kita sekedar merasa bersikap lugas, padahal orang lain merasa “dimanfaatkan”. Bowie berpendapat bahwa yang menjadi pokok masalahnya adalah “suatu prinsip moral yang mendasar, prinsip penghormatan terhadap orang-orang lain”.
Prinsip-prinsip utama etika yang dikemukakan para pemikir barat dan kemudian menelaah beberapa isu yang muncul dalam banyak konteks komunikasi yang berlainan.
1. Prinsip-Prinsip.
a) Pertengahan emas
Prinsip ini dikemukakan oleh Aristoteles, yang mana menurut dia, moralitas harus dibangun dalam moderasi. Ia menganggap setiap kebajikan sebagai pertengahan, jalan tengah antara dua ekstrem, kelebihan dan kekurangan.
Kebenaran adalah pertengahan antara kerendahatian yang palsu dan kesombongan; keadilan adalah pertengahan antara penyaluran barang (atau hukuman) yang terlalu sedikit dan terlalu banyak. Tujuan etika menurut Aristoteles adalah kebahagiaan individu.
b) Imperative Kategoris
Prinsip ini dikemukakan oleh Kant, yang berangggapan suatu perintah atau kewajiban untuk bertindak (suatu “imperatif”) yang mutlak (“kategoris”), tanpa pengecualian atau syarat.
Bagi kant moralitas di ukur oleh niat untuk mematuhi hukum-hukum universal moralitas ketimbang oleh konsekuensi atau hasil tindakan-tindakan kita, sekalipun konsekuensi atau hasil tersebut akan menyelamatkan perasaan seseorang atau melindungi keselamatannya.
c) Utilitarianisme
Filosof inggris Jeremi Bentham dan John Stuart Mill meletakkan nilai primer bukan pada niat moral kita, melainkan pada hasil atau konsekuensi tindakan kita.
Utilitarianisme tumbuh dari keprihatinan untuk melakukan reformasi politik dan sosial, karenanya tekanannya pada manfaat apa yang akan diperoleh sebanyak-banyaknya manusia, dan bertanggung jawab atas reformasi. Menurut pandangan ini, tuntutan dan kesejahteraan perseorangan atau kelompok kecil harus disubordinasikan kepada tuntutan sejumlah besar orang.
d) Keadilan dan Tabir Kebodohan
Prinsip ini dikemukakan oleh Rawls, bahwa suatu prinsip keadilan harus meliputi perlindungan bagi mereka yang posisinya dalam masyarakat adalah yang terlemah, apakah karena usia, penyakit, status, atau penghasilan dan bahwa apa yang bermoral adalah yang adil bagi semua.

2. Isu-Isu
Diantara isu-isu penting dalam etika diantaranya; masalah berbohong dan alasan-alasan yang sering diberikan untuk berbohong. Misalnya, berbohong untuk menghindari bahaya atau untuk melindungi orang lain. Lalu kita membahas persoalan-persoalan mengenai etika kerahasiaan, penyingkapan, dan hak atas privasi, dalam kehidupan public dan kehidupan pribadi. Akhirnya kita juga membahas isu-isu rumit menenai pembocoran rahasia yang dilakukan seorang anggota kelompok dengan membuat tuduhan mengenai adanya pelanggaran standar etika dalam kelompok itu sendiri.





B. MORAL DALAM KOMUNIKASI MASSA
Moral berasal dari bahasa Latin mores, jamak kata mos yang berarti adat kebiasaaan. Moralitas adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang mempunyai nilai positif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Moral artinya ajaran tentang baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, budi pekerti, akhlak. Moral adalah istilah yang digunakan untuk menetukan batas-batas suatu sifat, perangai, kekehndak, pendapat atau perbuatan yang layak dikatakan benar, salah, baik, buruk.
Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu, tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi.
Moral merupakan pengetahuan yang menyangkut budi pekerti manusia yang beradap. Moralisasi, berarti uraian (pandangan, ajaran) tentang perbuatan dan kelakuan yang baik. Demoralisasi berarti kerusakan moral.
Moral dalam zaman sekarang mempunyai nilai implisit karena banyak orang yang mempunyai moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh.
Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk. Moral dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
1. Moral murni, adalah moral yang terdapat pada setiap manusia sebagai suatu pengejawantahan dari pancaran ilahi. Moral murni disebut juga hati nurani.
2. Moral terapan, adalah moral yang didapat dari ajaran pelbagai ajaran filosofis, agama, adat yang menguasai pemutaran manusia.
Berdasarkan kutipan tersebut diatas, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah.
Kesadaran moral erat pula hubungannya dengan hati nurani yang dalam bahasa asing disebut conscience, conscientia, gewissen, geweten, dan bahasa arab disebut dengan qalb, fu'ad. Dalam kesadaran moral mencakup tiga hal. Pertama, perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan yang bermoral. Kedua, kesadaran moral dapat juga berwujud rasional dan objektif, yaitu suatu perbuatan yang secara umumk dapat diterima oleh masyarakat, sebagai hal yang objektif dan dapat diberlakukan secara universal, artinya dapat disetujui berlaku pada setiap waktu dan tempat bagi setiap orang yang berada dalam situasi yang sejenis. Ketiga, kesadaran moral dapat pula muncul dalam bentuk kebebasan.
Berdasarkan pada uraian diatas, dapat sampai pada suatu kesimpulan, bahwa moral lebih mengacu kepada suatu nilai atau system hidup yang dilaksanakan atau diberlakukan oleh masyarakat. Nilai atau sitem hidup tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai yang akan memberikan harapan munculnya kebahagiaan dan ketentraman. Nilai-nilai tersebut ada yang berkaitan dengan perasaan wajib, rasional, berlaku umum dan kebebasan. Jika nilai-nilai tersebut telah mendarah daging dalam diri seseorang, maka akan membentuk kesadaran moralnya sendiri. Orang yang demikian akan dengan mudah dapat melakukan suatu perbuatan tanpa harus ada dorongan atau paksaan dari luar.


B. AKHLAK DALAM KOMUNIKASI MASSA
1. Pengertian Akhlak
Akhlak secara terminologi berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik. Akhlak merupakan bentuk jamak dari kata khuluk, berasal dari bahasa Arab yang berarti perangai, tingkah laku, atau tabiat. Tiga pakar di bidang akhlak yaitu Ibnu Miskawaih, Al Gazali, dan Ahmad Amin menyatakan bahwa akhlak adalah perangai yang melekat pada diri seseorang yang dapat memunculkan perbuatan baik tanpa mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu. Dalam kepustakaan, akhlak diartikan juga sikap yang melahirkan perbuatan (perilaku, tingakah laku) mungkin baik, mungkin buruk.
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak, yaitu pendekatan linguistic (kebahasaan), dan pendekatan terminologik (peristilahan).
Dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa arab, yaitu isim mashdar (bentuk infinitif) dari kata al-akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai timbangan (wazan) tsulasi majid af'ala, yuf'ilu if'alan yang berarti al-sajiyah (perangai), at-thobi'ah (kelakuan, tabiat, watak dasar), al-adat (kebiasaan, kelaziman), al-maru'ah (peradaban yang baik) dan al-din (agama).
Namun akar kata akhlak dari akhlaqa sebagai mana tersebut diatas tampaknya kurang pas, sebab isim masdar dari kata akhlaqa bukan akhlak, tetapi ikhlak. Berkenaan dengan ini, maka timbul pendapat yang mengatakan bahwa secara linguistic, akhlak merupakan isim jamid atau isim ghair mustaq, yaitu isim yang tidak memiliki akar kata, melainkan kata tersebut memang sudah demikian adanya.
Untuk menjelaskan pengertian akhlak dari segi istilah, kita dapat merujuk kepada berbagai pendapat para pakar di bidang ini. Ibn Miskawaih (w. 421 H/1030 M) yang selanjutnya dikenal sebagai pakar bidang akhlak terkemuka dan terdahulu misalnya secara singkat mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Sementara itu, Imam Al-Ghazali (1015-1111 M) yang selanjutnya dikenal sebagai hujjatul Islam (pembela Islam), karena kepiawaiannya dalam membela Islam dari berbagai paham yang dianggap menyesatkan, dengan agak lebih luas dari Ibn Miskawaih, mengatakan akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gambling dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Definisi-definisi akhlak tersebut secara subtansial tampak saling melengkapi, dan darinya kita dapat melihat lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu; pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiaannya. Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa saat melakukan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila. Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan. Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara. Kelima, sejalan dengan ciri yang keempat perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.
Pentingnya kedudukan akhlak, dapat dari berabgai sunnah qauliyah (sunnah dalam bentuk perkataan) Rasulullah. Diantaranya adalah, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak” (H.R. Rawahu Ahmad). “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya” (H.R. Tarmizi).

2. Karakteristik Akhlak dalam Ajaran Islam
Secara sederhana akhlak Islami dapat diartikan sebagai akhlak yang berdasarkan ajaran Islam atau akhlak yang bersifat Islami. Kata Islam yang berada di belakang kata akhlak dalam hal menempati posisi sebagai sifat.
Dengan demikian akhlak Islami adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah, disengaja, mendarah-daging dan sebenarnya yang didasarkan pada ajaran Islam. Dilihat dari segi sifatnya yang universal, maka akhlak Islami juga bersifat universal. Namun dalam rangka menjabarkan akhlak islami yang universal ini diperlukan bantuan pemikiran akal manusia dan kesempatan social yang terkandung dalam ajaran etika dan moral.
Dengan kata lain akhlak Islami adalah akhlak yang disamping mengakui adanya nilai-nilai universal sebagai dasar bentuk akhlak, juga mengakui nilai-nilai bersifat local dan temporal sebagai penjabaran atas nilai-nilai yang universal itu. Namun demikian, perlu dipertegas disini, bahwa akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika atau moral, walaupun etika dan moral itu diperlukan dalam rangka menjabarkan akhlak yang berdasarkan agama (akhlak Islami). Hal yang demikian disebabkan karena etika terbatas pada sopan santun antara sesame manusia saja, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah. Jadi ketika etika digunakan untuk menjabarkan akhlak Islami, itu tidak berarti akhlak Islami dapat dijabarkan sepenuhnya oleh etika atau moral.
Ruang lingkup akhlak Islami adalah sama dengan ruang lingkup ajaran Islam itu sendiri, khususnya yang berkaitan dengan pola hubungan. Akhlak diniah (agama/Islam) mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah, hingga kepada sesame makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda yang tak bernyawa).
Penutup
Akhirnya dilihat dari fungsi dan peranannya, dapat dikatakan bahwa etika, moral, susila dan akhlak sama, yaitu menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk ditentukan baik-buruknya. Kesemua istilah tersebut sama-sama menghendaki terciptanya keadaan masyarakat yang baik, teratur, aman, damai, dan tentram sehingga sejahtera batiniah dan lahiriyah.
Dalam berbagai literature tentang ilmu akhlak islami, dijumpai uraian tentang akhlak yang secara garis besar dapat dibagi dua bagia, yaitu; akhlak yang baik (akhlak al-karimah), dan akhlak yang buruk (akhlak madzmumah). Berbuat adil, jujur, sabar, pemaaf, dermawan dan amanah misalnya termasuk dalam akhlak yang baik. Sedangkan berbuat yang dhalim, berdusta, pemarah, pendendam, kikir dan curang termasuk dalam akhlak yang buruk.
Secara teoritis macam-macam akhlak tersebut berinduk pada tiga perbuatan yang utama, yaitu hikmah (bijaksana), syaja'ah (perwira/ksatria) dan iffah (menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat).
Hukum-hukum akhlak ialah hukum-hukum yang bersangkut paut dengan perbaikan jiwa (moral); menerangkan sifat-sifat yang terpuji atau keutamaan-keutamaan yang harus dijadikan perhiasan atau perisai diri seseorang seperti jujur, adil, terpercaya, dan sifat-sifat yang tercela yang harus dijauhi oleh seseorang seperti bohong, dzalim, khianat. Sifat-sifat tersebut diterangkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dan secara Khusus dipelajari dalam Ilmu Akhlak (etika) dan Ilmu Tasawuf.




D. KETERKAITAN ANTARA ETIKA, MORAL DAN AKHLAK
Jika pengertian etika dan moral dihubungkan satu dengan lainnya, kita dapat mengetakan bahwa antara etika dan moral memiki objek yang sama, yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan manusia selanjutnya ditentukan posisinya apakah baik atau buruk.
Namun demikian dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan. Pertama, kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan moral tolak ukurnya yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat. Dengan demikian etika lebih bersifat pemikiran filosofis dan berada dalam konsep-konsep, sedangkan etika berada dalam dataran realitas dan muncul dalam tingkah laku yang berkembang di masyarakat.
Hubungan etika dan moral yaitu, Moral adalah kepahaman atau pengertian mengenai hal yang baik, dan hal yang tidak baik, sedangkan etika adalah tingkah laku manusia, baik mental maupun fisik mengenai hal-hal yang sesuai dengan moral itu. Etika adalah penyelidikan filosofis mengenai kewajiban manusia serta hal yang baik dan yang tidak baik. Bidang inilah yang selanjutnya disebut bidang moral. Objek etika, adalah pernyataaan-pernyataan moral. Oleh karena itu, etika dapat juga dikatakan sebagai filsafat tentang bidang moral. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia melainkan bagaimana manusia itu harus bertindak.
Dengan demikian tolak ukur yang digunakan dalam moral untuk mengukur tingkah laku manusia adalah adat istiadat, kebiasaan dan lainnya yang berlaku di masyarakat.
Etika dan moral sama artinya tetapi dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian system nilai yang ada.
Perbedaaan antara etika, moral, dan susila dengan akhlak adalah terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika dalam etika penilaian baik buruk berdasarkan pendapat akal pikiran, dan pada moral dan susila berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat, maka pada akhlak ukuran yang digunakan untuk menentukan baik buruk itu adalah al-qur'an dan al-hadis.
Perbedaan lain antara etika, moral dan susila terlihat pula pada sifat dan kawasan pembahasannya. Jika etika lebih banyak bersifat teoritis, maka pada moral dan susila lebih banyak bersifat praktis. Etika memandang tingkah laku manusia secara umum, sedangkan moral dan susila bersifat local dan individual. Etika menjelaskan ukuran baik-buruk, sedangkan moral dan susila menyatakan ukuran tersebut dalam bentuk perbuatan.
Namun demikian etika, moral, susila dan akhlak tetap saling berhubungan dan membutuhkan. Uraian tersebut di atas menunjukkan dengan jelas bahwa etika, moral dan susila berasala dari produk rasio dan budaya masyarakat yang secara selektif diakui sebagai yang bermanfaat dan baik bagi kelangsungan hidup manusia. Sementara akhlak berasal dari wahyu, yakni ketentuan yang berdasarkan petunjuk Al-Qur'an dan Hadis. Dengan kata lain jika etika, moral dan susila berasal dari manusia sedangkan akhlak berasal dari Tuhan.
Akhlak Islami berbeda dengan moral dan etika. Perbedaannya dapat dilihat terutama dari sumber yang menentukan mana yang baik mana yang buruk. Yang baik menurut akhlak adalah segala sesuatu yang berguna, yang sesuai dengan nilai dan norma agama; nilai serta norma yang terdapat dalam masyarakat, bermanfaat bagi diri sendir serta orang lain. Yang buruk adalah segala sesuatu yang tidak berguna, tidak sesuai dengan nilai dan norma agama serta nilai dan norma masyarakat, merugikan masyarakat dan diri sendiri. Yang menetukan baik atau buruk suatu sikap (akhlak) yang melahirkan perilaku atau perbuatan manusia, di dalam agama dan ajaran Islam adalah Al-Qur’an yang di jelaskan dan di kembangkan oleh Rasulullah dengan sunnah beliau yang kini dapat dibaca dalam kitab-kitab hadits. Yang menentukan perbuatan baik atau buruk dalam moral dan etika adalah adat-istiadat dan pikiran manusia dalam masyarakat pada suatu tempat di suatu masa. Oleh karena itu, di pandang dari sumbernya, akhlak Islami bersifat tetap dan berlaku untuk selama-lamanya, sedangkan moral dan etika berlaku selama masa tertentu di suatu tempat tertentu. Konsekuensinya, akhlak Islam bersifat mutlak, sedang moral dan etika bersifat relatif (nisbi).
0 Responses

Posting Komentar


  • ShoutMix chat widget
    [Clos]

    Jumlah Pengunjung

    Locations of visitors to this page


    free counters