Konsep Negara dan Pemimpin dalam Islam
KONSEP NEGARA DAN PEMIMPIN DALAM ISLAM

A. KONSEP NEGARA ISLAM
1. Struktur Sebuah Negara
Imam Mawardi membagi lembaga-lembaga kekuasaan dibawah khalifah atas :
a) Kekuasaan (wilayat) umum dalam lapangan umum (kementrian/al-wizarat), Kekuasaannya dikatakan umum karena meliputi suatu masalah secara umum. Lapangannya dikatakan umum karena meliputi seluruh negeri.
b) Kekuasaan (wilayat) umum dalam lapangan khusus (kegubernuran/kekuasaan daerah otonomi). Kekuasaannya dikatakan umum karena menyangkut segenap masalah dalam daerah otonomimya, namun lapangannya khusus karena kekuasaan tersebut hanya meliputi daerah otonominya saja.
c) Kekuasaan (wilayat) khusus dalam lapangan umum adalah lembaga-lembaga semacam Mahkamah Agung, Panglima Besar Angkatan Perang, dan Lembaga Pengendali Keuangan Negara. Kekuasaan mereka dikatakan khusus karena hanya menangani masalah-masalah khusus. Lapangannya dikatakan umum karena meliputi segenap negeri.
d) Kekuasaan (wilayat) khusus dalam lapangan khusus adalah lembaga-lembaga semacam Pengadilan Daerah, Lembaga Keuangan Daerah, Lembaga Militer Daerah, dan berbagai lembaga serupa yang ada di tingkat daerah / negara bagian.

Pembagian Mawardi diatas harus dipahami dalam kerangka bahwa khalifah merupakan institusi tertinggi dalam negara, meskipun tidak secara serta merta bisa bertindak otoriter, karena kedaulatan tetap di tangan rakyat didalam bingkai nilai-nilai syariat.
Pembagian Mawardi diatas cukup sistematis. Namun lagi-lagi perlu ditegaskan, konteks yang dipakai adalah khalifah sebagai institusi tertinggi. Poin ini perlu ditegaskan karena di era modern telah muncul model kekuasaan dimana kepala negara bukanlah institusi tertinggi. Sebut saja sistem negara parlemen. Dalam sistem ini, parlemen merupakan institusi tertinggi dan bukan kepala negara.
Bagaimanakah keberadaan parlemen menurut Islam ? Dalam sistem Islam terdapat suatu lembaga yang mirip dengan parlemen, yang sering disebut sebagai ahlul hall wal ‘aqd. Namun lembaga ini tidaklah sama persis dengan parlemen. Ahlul hall wal ‘aqd hanya bertugas untuk menetapkan atau menurunkan khalifah (termasuk juga mengontrol khalifah), tidak lebih dari itu. Artinya, tatkala khalifah sudah terpilih dan dia sanggup berlaku adil maka ahlul hall wal ‘aqd seolah-olah tidak diperlukan lagi. Ahlul hall wal ‘aqd akan diperlukan lagi ketika khalifah tidak berlaku adil atau ketika khalifah perlu diturunkan. Jadi, institusi tertinggi adalah khalifah, namun pada suatu saat institusi tertinggi bisa diambil alih oleh ahlul hall wal ‘aqd, yang pada dasarnya berarti diambil alih oleh rakyat.
Adapun mengenai kekuasaan yudikatif, agaknya hampir setiap sistem negara (termasuk sistem Islam) menempatkannya dalam posisi independen. Hal ini adalah niscaya karena hukum harus ditempatkan dalam posisi tertinggi, untuk menjamin keadilan bagi semuanya.

2. Syarat-syarat Berdirinya Sebuah Negara
Sebuah negara bisa berdiri apabila ia memiliki wilayah, rakyat, dan pemimpin bagi rakyat tersebut. Hubungan antara rakyat dan pemimpin terwujud dalam aturan-aturan yang sering disebut sebagai undang-undang.
Negara Islam merupakan negara yang didirikan atas dasar keyakinan (aqidah), bukan atas dasar letak geografis, etnis, ataupun aspek-aspek alam lainnya. Karena itu, Negara Islam bersifat universal (dan karenanya multietnis).
Khilafah Islam (Negara Islam), meskipun bersifat universal (‘alamiyyat), tidaklah harus berwilayahkan seluruh penjuru bumi, untuk bisa disebut sebagai sebuah negara (Islam). Negara Madinah pun hanya memiliki wilayah yang tidak terlalu luas, namun toh sudah bisa disebut sebagai sebuah negara Islam, bahkan sebuah negara ideal. Yang terpenting adalah bahwa wilayah tersebut dikuasai oleh satu payung kekuasaan. Satu wilayah tidak boleh dikuasai oleh lebih dari satu payung kekuasaan yang sama tinggi.
Karena berdirinya sebuah negara merupakan kontrak sosial, maka kontrak antara rakyat dan seorang pemimpin tertinggi merupakan faktor yang mesti ada. Tanpa kontrak tersebut, seluruh warga di wilayah tersebut tidak lebih hanyalah segerombolan manusia saja. Gerombolan-gerombolan manusia seperti itu bisa kita amati pada pola hidup masyarakat nomaden, yang senantiasa berpindah-pindah dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Untuk itulah, Islam telah mengarahkan manusia untuk hidup secara menetap dengan menyepakati suatu aturan hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu. Pola hidup menetap merupakan salah satu ciri manusia beradab. Dengan pola hidup menetap, manusia akan dapat menunaikan berbagai nilai kemanusiaan, yang sulit untuk dapat ditunaikan dengan pola hidup nomaden.
Aturan atau undang-undang merupakan unsur yang mesti ada dalam suatu negara. Undang-undang akan mengatur hubungan antar individu untuk mencapai keadilan dan kemaslahatan bersama. Tanpa undang-undang, pola hidup manusia tidak akan berbeda dengan pola hidup hewan. Padahal, manusia diciptakan dengan berbagai kelebihannya adalah untuk menjadi manusia, dan bukan untuk menjadi hewan.

3. Paradigma Hubugan Agama dan Negara.
Negara dipahami sebagai lembaga politik yang merupakan manifestasi dari kebersamaan dan keberserikatan sekelompok manusia untuk mewujudkan kebaikan dan kesejahteraan bersama. Dalam pemikiran politik Islam terdapat, paling tidak ada tiga paradigma tentang hubungan agama dan Negara.
a) Mengajukan konsep bersatunya agama dan Negara. Agama Islam dan Negara, dalam hal ini, tidak dapat dipisahkan (integrated). Wilayah agama juga meliputi politik atau Negara. Karena Negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan Negara diselengarakan atas dasar “kedaulatan ilahi”, karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di “tangan” Allah.
b) Memandang agama dan Negara berhubungan secara simbiotik, yaitu berhubungan timbal-balik dan saling memerlukan. Agama memerlukan Negara, karena dengan Negara agama dapat berkembang. Sebaliknya Negara memerlukan agama, karena dengan agama Negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral.
c) Bersifat sekularistik. Paradigma ini mengajukan pemisahan antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma skularistik menolak pendasaran Negara kepada Islam, atau paling tidak menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu daripada Negara.
Paradigma pertama memecahkan masalah dikotomi dengan mengajukan konsep bersatunya agama dan negara. Agama dan negara dalam hal ini tidak dapat dipisahkan. Wilayah agama juga meliputi politik atau negara, karenanya menurut paradigma ini negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus.
Paradigma ini dianut kelompok Syi'ah, di mana pemikiran politiknya memandang bahwa negara (imâmah atau kepemimpinan) adalah lembaga keagamaan dan mempunyai fungsi kenabian. Dalam pandangannya, legitimasi keagamaan berasal dari Tuhan dan diturunkan lewat garis keturunan Nabi. Legitimasi politik harus berdasarkan legitimasi keagamaan, dan hal ini hanya dimiliki para keturunan Nabi SAW.
Berbeda dengan pemikiran politik Sunni, kelompok ini menekankan ijma' (konsesus) dan bai'ah (penbaiatan) kepada kepala negara. Sementara Syi'ah menekankan wilâyah (kecintaan dan pengabdian kepada Tuhan) dan ishmah (kesucian dari dosa) yang hanya dimiliki para keturunan Nabi yang berhak dan absah untuk menjadi kepala negara (imâm). Sebagai lembaga politik yang didasarkan atas legitimasi keagamaan dan mempunyai fungsi menyelenggarakan "kedaulatan Tuhan" dalam perspektif syi'ah, negara bersifat teokrasi.
Menurut salah seorang kelompok ini, al-Maududî (w. 1979 M), syari'at tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik (negara). Syari'at adalah skema kehidupan yang sempurna dan meliputi seluruh tatanan kemasyarakatan, tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang. Namun dia menolak istilah teokrasi, dan memilih istilah teodemokrasi, karena konsepsinya memang mengandung unsur demokrasi, yaitu adanya peluang bagi rakyat untuk memilih pemimpin negara.
Paradigma kedua memandang agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu berhubungan erat secara timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral.
Al-Mâwardî (w. 1058 M) menegaskan bahwa kepemimpinan negara merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia. Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktivitas yang berbeda, namun berhubungan secara simbiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian.
Secara umum, polarisasi kecenderungan para pemikir politik Islam dalam memandang konsep negara dapat dikelompokkan kepada:
a) Skripturalistik dan Rasionalistik.
Kecenderungan skripturalistik menampilkan pemahaman yang bersifat tekstual dan literal, yaitu penafsiran terhadap al-Qur'ân dan Hadis yang mengandalkan pengertian bahasa. Sedangkan kecenderungan rasionalistik menampilkan penafsiran yang rasional dan kontekstual.
b) Idealistik dan Realistik.
Pendekatan pertama cenderung melakukan idealisasi terhadap sistem pemerintahan dengan menawarkan nilai-nilai Islam yang ideal. Kaum idealis cenderung menolak format kenegaraan yang ada, sementara kaum realis cenderung untuk menerimanya, karena orientasi mereka yang bersifat realistik terhadap kenyataan politik.
c) Formalistik dan Substantivistik
Pendekatan formalistik cenderung mementingkan bentuk dari pada isi, yang pada gilirannya menampilkan konsep negara dan simbolisasi keagamaan. Sebaliknya, pendekatan substantivistik cenderung menekankan isi dari pada bentuk. Kelompok ini tidak mempersoalkan bagaimana bentuk dan format sebuah negara, tetapi lebih memusatkan perhatian pada bagaimana mengisinya dengan etika dan moralitas agama.
Sebenarnya masalah politik atau pengaturan negara termasuk urusan duniawi yang bersifat umum. Panduan al-Qur'ân juga sunnah bersifat umum. Karena itu, permasalahan politik termasuk wilayah ijtihad umat Islam. Tugas cendekiawan muslim adalah berusaha secara terus menerus untuk menjadikan al-Qur'ân sebagai sistem yang konkrit supaya dapat diterjemahkan dalam pemerintahan sepanjang zaman. Inilah yang dilakukan empat khalîfah sesudah Nabi, sehingga walaupun mereka berada dalam rangka pengamalan ajaran Islam, pengorganisasian pemerintahnya berbeda antara satu dengan lainnya.


4. Hubungan Antar Negara (Darul Islam, Darul ‘Ahd, dan Darul Harb)
Dalam sistem politik Islam, status negara-negara dibedakan atas Darul Islam (Negara Islam), Darul ‘Ahd (Negara Dalam Perjanjian), dan Darul Harb (Negara Yang Diperangi). Sebetulnya klasifikasi ini merupakan hasil ijtihad para ulama, jadi bukan sesuatu yang dinashkan oleh Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Kebanyakan para ulama mendefinisikan Darul Islam sebagai negara yang menerapkan hukum-hukum Islam dan diperintah oleh penguasa muslim. Darul ‘Ahd ialah negara non muslim yang mengikat perjanjian dengan Darul Islam bahwa mereka tidak akan memerangi Darul Islam dan akan membayar jizyah selama keamanan mereka dijamin oleh Darul Islam. Sementara Darul Harb ialah negara kafir yang menyerang Islam atau menghalang-halangi dakwah Islam.
Serupa dengan klasifikasi negara diatas ialah klasifikasi warganegara : muslim, kafir dzimmiy, kafir mu’ahhad, dan kafir harbiy.
Klasifikasi-klasifikasi diatas pada dasarnya didasarkan atas sabda Nabi bahwa sebelum pasukan Islam berangkat ke medan jihad, Nabi berpesan,”Sampaikanlah dakwah Islam. Jika mereka menerima (masuk Islam) maka darah mereka haram (untuk dibunuh). Namun jika mereka menolak, tawarkanlah dua pilihan : membayar jizyah atau diperangi”.
Perlu dicamkan bahwa pemahaman terhadap hadits diatas tidak bisa dilepaskan dari pemahaman terhadap konsep dakwah Islam. Karena Islam bersifat universal, maka Islam harus disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia. Penyebaran opini Islam secara benar dan utuh tidak boleh dihalang-halangi atau dibiaskan. Dengan demikian umat manusia akan sanggup melihat wajah Islam yang sebenarnya. Selanjutnya manusia diberi kebebasan untuk memilih: ber-Islam atau tidak, tanpa ada paksaan sedikit pun juga. Kebebasan memilih inilah yang akan membawa manusia kepada pahala dan siksa. Jadi, yang dikehendaki oleh Islam adalah penyebaran opini (seruan) Islam tanpa penghalang. Negara Islam, dalam hal ini, bertugas untuk menyingkirkan segala bentuk penghalang bagi tersebarnya seruan Islam.
Selanjutnya, bagaimanakah hubungan antara Negara Islam (Darul Islam) dan Negara Non-Islam ? Terhadap Negara Dalam Perjanjian (Darul ‘Ahd), Negara Islam harus berdamai dan menunaikan segala poin Perjanjian. Adapun terhadap Negara Yang Diperangi (Darul Harb) – dengan definisi diatas -, Negara Islam wajib memerangi mereka, sampai faktor-faktor yang menyebabkan kebolehan memerangi mereka menjadi tiada.
Para pemikir politik Islam abad pertengahan banyak mengadopsi pikiran Plato dan Aristoteles mengenai konsep terbentuknya negara. Mereka berangkat dari asumsi dasar bahwa manusia adalah makhluk sosial. Seperti dikatakan al-Ghazalî, manusia itu tidak dapat hidup sendirian yang disebabkan oleh dua hal. Pertama, kebutuhan akan keturunan demi kelangsungan hidup umat manusia, hal itu hanya mungkin melalui pergaulan antara laki-laki dan perempuan serta keluarga. Kedua, saling membantu dalam penyediaan bahan makanan, pakaian, dan pendidikan anak.
Kebutuhan akan kerja sama untuk mengadakan segala yang diperlukan bersama akan berakibat timbulnya semacam pembagian tugas di antara anggota masyarakat, kemudian lahirlah kelompok petani, pekerja, dan sebagainya. Semua faktor ini memerlukan kerja sama yang baik antar sesamanya. Untuk itu diperlukan tempat tertentu, dan dari sinilah lahir suatu negara.
Dalam pandangan Ibn Taimiyah negara dan agama saling berkelindan, tanpa kekuasaan negara yang bersifat memaksa agama berada dalam bahaya. Tanpa disiplin hukum wahyu, negara pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik. Juga dengan Ibn Khaldûn, organisasi kemasyarakatan suatu kemestian bagi manusia. Tanpa itu eksistensi mereka tidak akan sempurna, sebagaimana kehendak Allah menjadikan mereka sebagai khalîfah-Nya untuk memakmurkan bumi.
Seorang pemikir lain yang juga dapat disebut sebagai pembawa pandangan simbiosa agama dan negara adalah al-Ghazalî (w. 1111 M). Konsep far'i izâdî yang menjadi dasar simbiosa agama dan negara dalam pemikirannya mempunyai akar sejarah pada pemikiran pra-Islam Iran. Konsep ini mengandung arti kualitas tertentu yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin atau kepala negara, seperti pengetahuan, keadilan, dan kearifan. Kualitas demikian diyakini bersumber pada Tuhan dan bersifat titisan.
Peradigma ketiga bersifat sekuralistik. Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun simbiotik antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekuralistik menolak pendasaran agama pada negara, atau paling tidak menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu pada negara.
Pada tahun 1925 'Ali Abdur Raziq menerbitkan risalah yang berjudul al-Islâm Wa ushûl al-Hukm, dikatakan bahwa Islam (al-Qur'ân) tidak mempunyai kaitan apapun dengan sistem pemerintahan kekhalifahan, termasuk dengan khulafâur râsyidîn bahwa aktivitas mereka bukan sebuah sistem politik keagamaan, tetapi sebuah sistem duniawi. Islam tidak menetapkan rezim pemerintahan tertentu, tidak pula mendesak kepada kaum muslimin tentang sistem pemerintahan tertentu lewat mana mereka harus diperintah, tetapi Islam telah memberikan kebebasan mutlak untuk mengorganisasi negara sesuai dengan kondisi intelektual, sosial, dan ekonomi serta mempertimbangkan perkembangan sosial dan tuntutan zaman. Bahkan ia menolak keras pendapat yang mengatakan bahwa Nabi pernah mendirikan suatu negara di Madinah. Menurutnya, Nabi adalah utusan Allah, bukan seorang kepala negara atau pemimpin politik.
Dari pandangannya dapat disimpulkan, masyarakat Islam bukanlah masyarakat politik. Akan tetapi selalu ada peluang bagi masyarakat untuk mewujudkan bentuk pemerintahan Islam yang sesuai dengan konteks budaya. Ia sebenarnya tidak bermaksud mengatakan bahwa Islam tidak menganjurkan pembentukan suatu negara. Sebaliknya, Islam memandang penting kekuasaan politik. Tetapi hal ini tidak berarti pembentukan negara merupakan salah satu ajaran dasar Islam. Dengan lain ungkapan, kekuasaan politik diperlukan umat Islam, tetapi bukan karena tuntutan agama, melainkan tuntutan situasi sosial dan politik itu sendiri.
Dalam perspektif teologis dan historis untuk membuktikan bahwa tindakan politik Nabi seperti, melakukan perang, mengumpulkan jizyah (pajak), dan bahkan jihad tidak berhubungan dan tidak merefleksikan fungsinya sebagai utusan Tuhan. Persoalan negara adalah persoalan duniawi yang telah diserahkan Tuhan kepada akal manusia untuk mengaturnya sesuai dengan arah kecendrungan akal dan pengetahuannya.
Beberapa kalangan pemikir muslim berpendapat bahwa Islam tidak meletakkan suatu pola baku tentang teori negara yang harus dijalankan umat. Seorang pemikir muslim Mesir, Muhammad 'Imarah, sebagaimana dikutip Bahtiar Effendy mengatakan, Islam sebagai agama tidak menentukan suatu sistem pemerintahan tertentu bagi kaum muslim, karena logika tentang kesesuaian agama ini untuk sepanjang masa dan tempat menuntut agar permasalahan yang selalu berubah secara evolusi diserahkan kepada akal pikiran manusia menurut kepentingan umum yang telah digariskan agama.
Pendapat di atas ada kemiripan dengan 'Abduh, menurut 'Abduh Islam tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan. Jika sistem khalîfah masih tetap menjadi pilihan sebagai model pemerintahan maka bentuk demikianpun harus mengikuti perkembangan masyarakat dalam kehidupan materi dan kebebasan berpikir. Ini mengandung makna, 'Abduh menghendaki suatu pemerintahan yang dinamis. Dengan demikian ia mampu mengantisipasi perkembangan zaman.
Menurut aliran pemikiran ini, istilah "daulah" yang berarti negara tidak ditemukan dalam al-Qur'ân. Meskipun terdapat berbagai ungkapan yang merujuk kepada kekuasaan politik dan otoritas, akan tetapi ungkapan tersebut hanya bersifat insidental dan tidak ada pengaruhnya terhadap mekanisme teori politik atau model tertentu dari sebuah negara.
Dalam rangka menyusun teori politik Islam mengenai konsep negara yang ditekankan bukanlah struktur "negara Islam", melainkan substruktur dan tujuannya. Sebab struktur negara akan berbeda di satu tempat dan tempat lainnya. Ia termasuk wilayah ijtihad kaum muslimin sehingga bisa berubah. Sementara substruktur dan tujuannya tetap menyangkut prinsip-prinsip bernegara secara Islami.
Namun penting untuk dicatat, bahwa al-Qur'ân mengandung nilai-nilai dan ajaran yang bersifat etis mengenai aktifitas sosial politik umat manusia. Ajaran ini mencakup prinsip-prinsip tentang keadilan, persamaan, persaudaraan, musyawarah, dan lain-lain. Untuk itu sepanjang negara berpegang kepada prinsip-prinsip tersebut maka pembentukan "negara Islam" dalam pengertian yang formal dan ideologis tidaklah begitu penting.
Ada beberapa ayat al-Qur'ân yang menggambarkan prinsip-prinsip di atas, atau secara implisit menampilkan sebagai ciri negara demokrasi di antaranya adalah:
Keadilan (QS. 5:8)
Berlaku adillah kalian karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.
Musyawarah (QS. 42:38)
Sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka.
Menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran (QS. 3:110)
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, dan berimanlah kepada Allah.
Perdamaian dan persaudaraan (QS. 49:10)
Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqkwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.
Keamanan (QS. 2:126)
Dan ingatlah ketika Ibrahim berdo'a, Ya Tuhanku jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa.
Persamaan (QS. 16:97 dan 40:40)
Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (QS. 16:97).

Apabila prinsip-prinsip di atas benar-benar ditegakkan dalam sebuah negara, tanpa melihat simbol atau bentuk legal-formal negara itu sendiri maka apa yang Allah telah lukiskan dalam al-Qur'ân surat Saba' ayat 15 akan dapat dirasakan. Firman Allah tersebut:
Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): Makanlah olehmu rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun (QS. 34:15).
Apa yang dikatakan Ibn Taimiyah, negara sebagai sesuatu yang perlu untuk menegakkan suruhan agama, tetapi eksistensinya adalah sebagai alat belaka dan bukan lembaga keagamaan itu sendiri. Jadi, kalau negara adalah alat yang perlu untuk menegakkan agama, maka manusia tentu tidak akan menggunakan alat yang sama dari suatu masa ke masa yang lain. Suatu alat dalam makna yang lazim dipahami mungkin akan lebih canggih berbanding dengan alat yang lain yang dipergunakan di masa silam meskipun keduanya dipergunakan untuk mencapai maksud yang sama. Tuhan akan melanggengkan suatu negara yang menjaga prinsip keadilan, walaupun negara tersebut secara formal bukan negara Islam. Tetapi sebaliknya, Tuhan akan menghancurkan apabila nilai-nilai tersebut dikesampingkan.
Penutup
Al-Qur'ân maupun sunnah tidak memiliki preferensi terhadap sistem politik yang mapan untuk menetukan bentuk legal-formal negara yang ideal. Islam hanya memiliki seperangkat nilai etis yang dapat dijadikan rujukan dalam penyelenggaraan negara yang sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Persoalan politik (negara) lebih merupakan urusan kreatifitas manusia, atau kerangka wilayah fiqh yang perlu dilakukan ijtihad. Sebagai wilayah fiqh maka setiap rumusan dan interpretasi yang dihasilkan tentu berbeda, karena paradigma yang digunakan pun juga berbeda.
Sepanjang negara berpegang kepada nilai-nilai yang ada dalam al-Qur'ân maka pembentukan "negara Islam" dalam pengertian yang formal dan ideologis tidaklah begitu penting. Yang penting adalah substansinya, artinya nilai-nilai al-Qur'ân seperti, musyawarah (syûrâ), keadilan ('adâlah), persamaan (musâwah), hak-hak asasi manusia (huqûq al-adamî), perdamaian (shalâh), keamanan (aman) dan lain-lain bisa direalisasikan dalam konteks bernegara. Sehingga pada akhirnya baldatun toyyibatun wa robbun ghafur bukan hanya sekedar ide dan cita-cita, tetapi sebuah realita yang bisa dirasakan.

5. Karakter Negara Madinah (Masa Nabi dan Khulafa’ Rasyidun)
Umat Islam berkeyakinan bahwa pendirian Negara Madinah merupakan wahyu dari Allah dan bukan semata-mata pemikiran sosio-politik Nabi. Lebih jauh lagi, umat Islam berkeyakinan bahwa Nabi merupakan teladan terbaik dalam segenap aspek kehidupan, tidak terkecuali dalam masalah sosial politik. Oleh karena itu, Negara Madinah merupakan model negara ideal yang harus ditiru oleh umat Islam sepanjang masa.
Segera setelah Nabi menginjak tanah Madinah, beliau melakukan lobi-lobi dengan berbagai elemen masyarakat Madinah untuk membuat suatu kesepakatan bersama. Akhirnya, kesepakatan bersama itu bisa dicapai dan mengikat seluruh elemen masyarakat Madinah. Kesepakatan bersama itu sering disebut sebagai Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah (Mitsaq al-Madinat). Konstitusi Madinah memuat aturan-aturan tentang interaksi antara warga Madinah, yang terdiri dari komunitas muslim, Ahlul Kitab, dan kaum paganis. Berangkat dari konstitusi inilah Negara Madinah dibangun. Negara Madinah, sebagai sebuah negara yang beribukotakan Madinah (Madinat al-Nabiy), berturut-turut diperintah oleh Rasulullah dan Khalifah Yang Empat.
Negara Madinah dibangun diatas nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan yang elegan. Pembinaan keimanan, keadilan bagi semua, kesamaan derajat (egaliterisme), dan keterbukaan merupakan beberapa diantaranya. Secara esensial, Negara Madinah merupakan suatu negara yang paling sophisticated yang pernah ada sepanjang jaman.
Untuk membentuk negara ideal semacam Madinah, dibutuhkan instrumen-instrumen yang tidak mudah untuk dicapai. Instrumen-instrumen yang dimaksud adalah pemimpin yang baik, rakyat yang baik, dan aturan (undang-undang) yang baik. Apabila salah satu saja diantara instrumen-instrumen tersebut tidak terpenuhi, maka negara ideal tidak akan bisa terwujud. Misalnya, kalaupun pemimpin dan undang-undangnya baik tetapi rakyatnya tidak baik, maka yang ada hanyalah pembangkangan-pembangkangan. Kalaupun rakyat dan undang-undangnya baik tetapi pemimpinnya tidak baik, maka yang ada hanyalah kelaliman-kelaliman penguasa. Kalaupun rakyat dan pemimpinnya baik tetapi aturannya masih buruk, maka masing-masing pihak akan melangkah dalam arah yang salah. Untuk bisa meluruskan langkah, mereka harus membuat aturan baru.
Diantara kepemimpinan khulafa’ rasyidun, kepemimpinan Abu Bakr dan ‘Umar merupakan kepemimpinan yang lebih utama, dari sisi tidak adanya (minimnya) gejolak-gejolak yang timbul. Namun dari sisi pribadi, tidaklah bisa dikatakan bahwa Abu Bakr dan ‘Umar lebih mulia daripada yang lainnya, karena masing-masing dari keempat khalifah memiliki tantangan zaman yang berbeda. Tolok ukur terhadap pribadi-pribadi harus didasarkan pada bagaimana tindakan mereka dalam menghadapi berbagai tantangan yang ada, dan tidak didasarkan pada hasilnya.
Watak rakyat di masa Abu Bakr dan ‘Umar barangkali lebih baik daripada watak rakyat di masa Utsman dan Ali. Disamping itu, iklim dan tantangan politik di masa Utsman dan Ali jauh lebih berat dan kompleks daripada apa yang ada pada masa Abu Bakr dan ‘Umar. Timbulnya konflik tidaklah secara serta merta menyebabkan suatu negara menjadi buruk, tetapi bagaimana negara menangani konflik itulah yang akan menentukan baik buruknya suatu negara.


PENGERTIAN PEMERINTAH
Secara etimologi pemerintahan berasal dari dua kata sebagai berikut :
1. Kata dasar perintah berarti, menyuruh.
2. Penambahan awalan pe menjadi pemerintah berarti badan yang melakukan kekuasaan memerintah.
3. Penambahan akhiran an menjadi pemerintahan berarti perbuatan, cara, hal, atau urusan dari badan yang memerintah tersebut.
Di beberapa Negara, antara pemerintah dan pemerintahan tidak dibedakan. Inggris menyebutkannya government dan Prancis menyebutnya government keduanya berasal dari perkataan Latin gubernacalum. Dalam bahasa Arab disebut hukumat, di Amerika Serikat desut dengan administration, sedangkan Belanda mengartikan regering sebagai penggunaan kekuasaan Negara oleh yang berwenang untuk menentukan keputusan dan kebijaksanaan. Hal itu dilakukan dalam rangka mewujudkan tujuan Negara, dan sebagai penguasa menetapkan perintah-perintah.
Jadi, regen digunakan untuk pemerintah pada tingkat nasional atau pusat. Bestuur diartikan keseluruhan badan pemerintah dan kegiatannya langsung berhubungan dengan usaha mewujudkan kesejahteraan rakyat. Sebaliknya dalam penyelenggaraan pemerintahan dikenal istilah binnenlandsberstuurs (pemerintahan dalam negeri) dan algemeensbestuurs dients (pemerintahan umum atau pemerintahan pusat yang merupakan korps pamong praja).
Menurut Samuel Edward Finer dalam bukunya yang terkenal Comparative Government, mengatakan bahwa pemerintah harus mempunyai kegiatan yang terus-menerus (process), harus mempunyai Negara tempat kegiatan itu berlangsung (state), mempunyai pejabat memerintah (the duty) dan mempunyai cara, metode serta system (manner, methode, and system) terhadap rakyat.
Kemudian Mac Iver melihat bagaimana Machiavelli menganjurkan para penguasa mengombinasikan kelicikan (cunning) dengan sikap tidak mengenal belas kasihan. Dari hal ini Iver menganggap bahwa pemerintah hanyalah suatu seni saja.
Musanef memberikan definisi ilmu pemerintahan sebagai berikut.
Ilmu pengetahuan yang menyelidiki bagaimana sebaiknya hubungan antara pemerintah dan yang diperintah, dapat diukur sedemikian rupa sehingga dapat dihindari timbulnya berbagai pertentangan antara pihak yang satu dengan pihak yang lain, dan mengusahakan agar terdapat keserasian pendapat serta daya tindak efektif dan efisien dalam pemerintahan.
Prajudi Atmosudirdjo dalam berbagai kuliahnya menyampaikan bahwa tugas pemerintah antara lain tata usaha Negara, rumah tangga Negara, pemerintahan, pembangunan, dan pelestarian lingkungan hidup. Sebaliknya fungsi pemerintahan adalah peraturan, pembinaan masyarakat, kepolisian, dan peradilan. Karena tugas pemerintah adalah tugas Negara yang dilimpahkan atau dibebankan kepada badan konstitutif (MPR), pengawasan politik dan legislative (DPR), pengawasan financial (Bepeka), konsultatif (DPA) dan yudikatif (MA). Dlam hal ini yang dimaksud dengan tugas Negara adalah pemerintah arti luas.
Bintoro Tjokroamindjojo dalam bukunya pengantar administrasi pembangunan menyebutkan pula peranan dan fungsi pemerintah sebagai berikut.
Perencanaan serta fungsi pemerintah terhadap perkembangan masyarakat tergantung pada beberapa hal :
Yang pertama adalah filsafat hidup kemasyarakatan dan politik masyarakat. Ada Negara yang memberikan kebebasan yang cukup besar kepada anggota masyarakat untuk menumbuh kembangkan masyarakat, sehingga pemerintah diharapkan tidak terlalu banyak campur tangan dalam kegiatan masyarakat. Namun, ada pula Negara yang filsafat hidupnya menghendaki Negara dan pemerintah memimpin serta mengurus segala sesuatu dalam kehidupan masyarakatnya. Seperti filsafat politik sosialis tradisional. Hal ini berkaitan dengan suatu pandangan bahwa pemerintah sebagai pemegang mandate untuk mengusahakan kepentingan dan keadilan dalam masyarakt secara keseluruhan. Ini perlu dinyatakan dan tetap memperhatikan kepentingan golongan ekonomi lemah.
Pada Negara yang sedang berkembang, peran pemerintah sangat penting dan menonjol. Karena pemerintah yang berperan menggali, menggerakan, dan mengombinasikan berbagai factor, seperti tenaga terlatih, biaya, peralatan, partisipasi, dan kewenangan yang sah. Pemerintah memegang peran sentral dalam pembangunan nasional. Hal ini terlihat dalam peraturan administrasi Negara, pemerintah mengurus masyarakat yang belum melahirkan (dengan keluarga berencana) sampai kepada masyarakat yang sudah meninggal dunia (dengan dinas pemakaman).
Setiap Negara tidak memiliki berbagai kesamaan dalam pengaturan pemerintahannya, bahkan suatu Negara akan berkembang tergantung pada situasi dan kondisi setempat. Jadi, keanekaragaman dalam system ini disebabkan waktu, tempat, dan lingkungan yang berbeda. Indonesia berbeda dengan Filipina, bahkan Kerajaan Majapahit yang didirikan diatas reruntuhan Kerajaan Singasari jauh berbeda antara kedua kerajaan tersebut. Pemerintahan pada Orde Lama ada perbedaan dengan senasa Orde Baru.
Pemerintah dalam arti organnya dapat dibedakan sebagai berikut :
1. Pemerintah dalam arti sempit, terbatas pada lembaga yang memegang kekuasaan eksekutif.
2. Pemerintah dalam arti luas, mencakup kekuasaan eksekutif, legislative, dan yudikatif.
Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan menjalankan undang-undang, system kabinet presidensial dipegang oleh presiden sebagai pimpinan kabinet atau dewan menteri-menteri.
System kabinet parlementer, dipegang oleh perdana menteri sebagai pimpinan kabinet (dewan menteri-menteri). Dalam kabinet parlementer ini, kepada Negara hanya sebagai symbol belaka, karena tidak memegang kekuasaan pemerintahan. Umumnya dimiliki oleh Negara kerajaan, yang menghargai turunan bangsawan tertentu, sepanjang raja atau sultan tidak sekaligus memegang tampuk pemerintahan.

PERMASALAHAN
Membahas masalah pemerintahan dengan mempedomani Al-Qur’an, bagi sebagian orang masih dianggap riskan, kendati Alqur’an adalah pegangan umat Islam. Hal ini karena pemerintahan dianggap sebagai salah satu dari ilmu keduniawian, sedangkan Alqur’an dianggap khusus petunjuk bagi orang islam.
Selama ini sudah banyak penulis dari dalam dan luar negeri yang membahas dengan rinci tentang petunjuk Alqur’an terhadap pemerintahan (hukumat), politik (siyasiyah), administrasi (yudabbiru), kenegaraan (daulah), dan kekuasaan (sulthaniyah).
Kilas balik dari abad kea bad menunjukkan bahwa Negara-negara Selatan yang sebagian besar Negara Islam, dipermalukan oleh cirinya, yaitu kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Kendati Alqur’an mengangkat ketiganya dan menanggulanginya dengan sangat mendasar. Sejarah memperlihatkan bahwa Muhammad saw. berhasil mendirikan suatu system pemerintahan, kemudian berpengaruh keseluruh penjuru dunia tanpa bantuan kekuasaan dan kekuatan banyak umat. Beliau berhasil menguasai pikiran, keyakinan dan jiwa bangsa-bangsa, berdasarkan Alqur’an. Yang disetiap hurufnya telah menjadi hukum.
Jadi, islam bukan sekedar system keagamaan tetapi Alqur’an merupakan pedoman untuk mencapai akhirat dan hidup didunia juga pedoman hidup keduniawian. Islam menolak paham sekuler yang memisahkan antara agama dengan keduniawian. Nabi Muhammad saw. telah memberikan pedoman sebagai pelengkap Alqur’an, yaitu hadist-hadist yang shahih.

PEMERINTAHAN DAN ILMU HUKUM
Pada pelajaran Undang-Undang Dasar 1945 tentang Sistem Pemerintahan Indonesia, dijelaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Disini terlihat bahwa kata hukum dijadikan lawan kata kekuasaan.
Kekuasaan adalah kemampuan menggerakkan kekuatan fisik dan mengorganisasikan banyak orang atas dasar suatu system sanksi. Jadi, yang dimaksud dengan kekuasaan adalah otoriter pemimpin, kesewenangan,dan kekuatan paksaan (coersive power). Kekuasaan dalam organisasi terbesar (negara) dimiliki oleh pemerintah (pengusaha negara), sehingga jelaslah hubungan antara kekuasaan (yang dimiliki pemerintahan yang berkuasa) dengan hukum. Hukum adalah aturan (tingkah laku) yang ada pada hakikatnya membicarakan persamaan hak dan kewajiban manusia. Pengertian perkataan berdasarkan hukum berarti seseorang tidak dapat seenaknya atau sewenang-wenang dalam melakukan sesuatu tindakan.



BENTUK NEGARA
a. Negara Kerajaan
Kita tidak dapat memandang rendah bentuk Negara kerajaan ini dikarenakan kepala negaranya hanya dianggap sebagai symbol, sebagai contoh Kerajaan Inggris. Negara ini begitu maju dan kokoh, karena ratu bagi mereka merupakan lambang persatuan dan kesatuan bangsanya, yang harus dihormati seperti kita membanggakan falsafah pancasila. Apabila Negara republic menyatakan dirinya demokrasi maka Negara kerajaan pun tak kalah demokrasinya (baik kabinet maupun parlemen di Inggris dikuasai oleh partai yang berkuasa).
b. Negara Republik
Negara republic dapat dibedakan dalam dua bagian, yaitu serikat dan kesatuan. Sebenarnya Negara kerajaan pun dapat kita bedakan seperti ini, karena kita lihat bahwa Kerajaan Inggris adalah suatu Negara kerajaan yang berbentuk kesatuan (united kingdom). Perbedaan ini tergantung pada besar kecilnya sentralisasi atau desentralisasi yang diberikan suatu Negara dalam pemerintahannya.
Seperti juga dengan negara kerajaan, Negara republic pun dapat memiliki perdana mentri (PM). Presiden yang terpilih merupakan symbol (misalnya India, Singapura, dll). Oleh karena itu, Republik Indonesia dan Prancis memberikan posisi dominant kepada presiden, presiden tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen.
Disamping itu, dikenal pula bentuk kenegaraan seperti Negara protektorat (negara yang berada dibawah perlindungan negara lain), negara uni (gabungan beberapa negara merdeka), dan negara dominion (negara yang telah dimerdekakan Inggris tetapi tetap mengakui Ratu Inggris sebagai rajanya).

Sistem Pemerintahan
Di Indonesia dikenal pembagian kekuasaan (distribution of power) atau disebut juga division of power karena antar lembaga kekuasaan tidak terdapat pemisahan yang drastis. Sebagai contoh, presiden dapat memegang kekuasaan kehakiman, seperti pemberian grasi, amnesty, abolisi, dan rehabilitasi serta mengajukan RUU kepada DPR (legislative).
Untuk lebih jauh melihat perbedaan system pemerintahan, adalah mengetahui tolak ukur tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat yang diurusnya.
a. System Pemerintahan Parlementer
Dalam sistem ini dilakukan pengawasan terhadap eksekutif olek legislative. Jadi kekuasaan parlemen yang besar dimaksudkan untuk memberikan kesejahteraan yang lebih besar kepada rakyat maka pengawasan atas jalannya pemerintahan dilakukan oleh wakil rakyat yang duduk dalam parlemen.
Sistem pemerintahan yang dapat dijadikan model untuk sitem pemerintahan parlementer ini adalah Kerajaan Inggris.
Menurut system pemerintahan parlementer adalah sebagai berikut :
1. Berdasarkan atas prinsip pembagian kekuasaan.
2. Terjadi tanggung jawab antara eksekutif dan legislative. Pihak eksekutif boleh membubarkan parlementer (legislatif) atau dia sendiri yang mesti meletakkan jabatan bersama-sama kabinetnya, disaat kebijaksaannya tidak lagi dapat diterima oleh kebanyakan suara para anggota parlemen.
3. terjadi pertanggung jawaban bersama (timbale balik) antara PM dan kabinetnya.
4. Eksekutif (baik PM maupun menteri-menterinya) terpilih sebagai kepala pemerintahan sesuai dengan dukungan sesuai dengan dukungan mayoritas parlemen.

b. System Pemerintahan Presidensial
Dalam system ini, presiden memilikikekuasaan yang kuat, sebagai kepala Negara juga sebagai kepala pemerintahan yang mengetahui cabinet (dewan menteri-menteri). Untuk tidak menjuruskan kearah diktatorisme maka diperlukan check dan balances antara lembaga tinggi negara, inilah yang disebut checking power with power.
System pemerintahan yang dijadikan model untuk system pemerintahan presidensial ini adalah Amerika Serikat.
Menurut system pemerintahan presidensial ini, adalah sebagai berikut:
1. berdasarkan atas prinsip-prinsip pemisahan kekuasaan
2. Eksekutif tidak mempunyai kekuasaan untuk membubarkan parlemen dan juga tidak mesti berhenti sewaktu kehilangan dukungan dari mayoritas anggota parlemen.
3. Tidak ada tanggung jawab yang beralasan antara presiden dan kabinetnya, karena akhirnya seluruh tanggung jawab sama sekali tertuju pada presiden (sebagai kepala pemerintahan).
4. Presiden dipilih langsung oleh para pemilih.

c. System Pemerintahan Campuran
Dalam system ini diusahakan mencari hal-hal yang terbaik dari system parlementer dan presidensial. System ini terbentuk dari mempelajari sejarah perjalanan pemerintahan suatu Negara.
Ada dua model system pemerintahan campuran, yaitu model Prancis kemudian Indonesia.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa :
1. Alangkah mengagumkan petunjuk Alqur’an terhadap ilmu pemerintahan. Pemerintahan sebagai suatu ilmu (science) dan seni (art) memiliki objek dan metode tersendiri yakni bagaimana cara mengatur, memerintah dan menguasai orang, serta menjadikan titik persoalannya adalah perebutan kekuasaan. Hanya ada satu imbangan dalam hal ini dengan menyadari sepenuhnya bahwa kekuasaan tidak akan kekal ditangan manusia tetapi kekal pada Allah.
2. Apa yang dilaksanakan diberbagai negara dalam pemerintahannya bersesuaian dengan apa yang diatur dalam Alquran, baik secara langsung (bagi negara-negara Islam) ataupun tidak langsung (bago negara-negara non Islam).
3. Berpikir secara relegius oleh sebagian pihak dianggap terlalu idealis. Akan tetapi kenyataannya dimana pun tujuan negara adalah untuk mewujudkan kemakmuran atau kesejahteraan (welfare) bagi rakyatnya, terlepas dari hakikat permainan politik (power play) suatu negara. Dengan demikian mengapa tidak memiliki Alquran sebagai satu-satunya Kitap suci yang tidak tertandingi isinya.

1. Nabi Muhammad saw. sebagai Nabi dan Rasul terakhir merupakan suri tauladan umat manusia sedunia termasuk untuk persoalan pemerintahan. Beliau sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang berhasil meletakkan sendi kenegaraan yang diridhai Allah SWT. Beliau memepersatukan kabilah-kabilah Arab, menerima dan mengirim duta, serta membuat perjanjian.
2. beberapa pendapat mengatakan bahwa datangnya kerajaan Allah sebagaimana dalam doa Rasullullah saw. dan Khulafur Rasyid. Bagaimana seorang perempuan cantik yang membawa barang berharga serta perhiasan yang banyak, tanpa mengalami perampokan dan perkosaan, kendati ia berjalan cukup jauh. Inilah mental masyarakat dan keamanan yang diciptakan oleh pemerintah kala itu. Begitu pula pada waktu masa pemerintah Khalifah Umar Ibn Al – Khattab ra. Beliau mencoba bertanya kepada seorang pengembala kambing akan keinginannya menjual kambing milik majikannya, mengatakan bahwa pengembala itu lebih takut kepada Allah dari pada kepada sesame manusia.
3. Pemerintahan Islam setelah para Khulafaur Rasyidin, walaupun diwarnai kemajuan dan pembangunan peradaban Islam namun kemurnian Islam mulai mundur, karena mereka tidak seratus persen menjalankan konsep keislaman. Sebagaimana yang difirmankan Allah dalam Alquran dan disabdakan Nabi Muhammad saw :
……. Masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya ……
Surat Al – Baqarah (2) ayat 208



Setelah berakhirnya system kekhalifahan di turki (1924), dunia islam mulai ramai membicarakan konsep Negara islam. Selama masa penjajahan Barat atas dunia Islam, kaum muslimin tidak sempat dan juga tidak mampu berpikir tentang ajaran agama mereka secara jelas, komprehensif dan tuntas mengenai berbagai masalah.
Untuk kurun waktu yang cukup lama, kaum muslimin secara sengaja dipisahkan dari ajaran-ajaran Islam oleh penjajah Barat, dan dalam proses aliensi masyarakat islam dari agamanya itu, kolonialisme dan imprealisme Barat melakukan proses peracunan barat (westoxication) atas dunia islam.
Secara intelektual kaum muslimin sangat lemah, dan karenanya tidak mampu melakukan diaolog yang seimbang dengan barat. Impotensi intelektual ini secara langsung atau tidak disebabkan juga oleh hubungan kekuasaan yang amat senjang antara Barat dan Dunia islam. Kesenjangan ini berdampak negative terhadap perkembangan atau pertumbuhan intelektual masyarakat islam.
0 Responses

Posting Komentar


  • ShoutMix chat widget
    [Clos]

    Jumlah Pengunjung

    Locations of visitors to this page


    free counters